Sumbangan Untuk
Kontestan Keempat?
Oleh Abdurrahman
Wahid
Bangsa kita memang
pandai mengalihkan arti suatu istilah yang sudah baku. Lihat
saja kata ‘kontestan pemilu’, yang diartikan ketiga peserta
dalam pemilihan
umum 1982 ini: Golkar, PDI dan PPP
(disusun berdasar Prioritas abjad, bukan nomor undian ).
Padahal menurut pengertian aslinya, kontestan adalah mereka yang
berlawanan merebut kemenangan terakhir dalam pertandingan.
Di negeri ini,
menurut tatakrama Demokrasi Pancasila, pola seperti itu tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa. Mau menang sendiri, dengan mengalahkan
orang lain. Kalau itu musuh politik, dapat dibenarkan .Golkar, PDI dan
PPP ‘kan tidak demikian. Mereka kan “partner dalam kehidupan
politik”. Bukan musuh. Karenanya , tujuan yang dianggap sesuai
dengan tatakrama Demokrasi Pancasila adala “menarik suara
sebanyak-banyaknya untuk mensukseskan pembangunan Nasional”.
Nah kalau sampai
Golkar menang mutlak, mendaoat diatas 60 % kursi DPR, itu bukan menang,
melainkan hanya “memperoleh kepercayaan rakyat”. Tidak penting
dengan cara apa “kepercayaan” itu diperoleh. Itu urusannya
sejarawan tiga atau empat puluhan tahun lagi - itu pun kalau mereka
mendapat catatan lapangan yang diperlukan untuk membuat kesimpulan.
Nah, dengan cara
perubahan arti elemen-elemen yang yang membentuk proses yang bernama
pemilu itu , berubah pulalah arti kata kontestan. Bukan arti semula
yang menunjukkan sikap kompetitif, dan kalau perlu sedikit “keras”,
melainkan arti kesertaan.
Dua kontesttan sama
dengan peserta. Setidak-tidaknya ini yang dimaui Panitia Pemilu
Indonesia dan Kopkamtib : aman, tertib, tenang dan damai ( ATTD ).
Ketiga kontestan itulah yang harus menjadi tolok ukur sudah demokratis
atau tidaknya pemilu berlangsung. Bukan proses jalannya pemilu itu
sendiri.
Putih Mangkak
Di sinilah
rombongan gelandangan yang bernama Fosko Enam-enam (dihurufkan, kalau
pakai angka takut dibaca anem-anem) muncul dengan gagasannya yang
cemerlang: bersedia membantu semua
kontestan pemilu. Dinyatakan kesediaan itu melalui media massa,
seperti yang dimuat dalam koran (
putih mangkak berlogo merah, bukan kuning seperti didakwakan Prof .Sumitro
Djojohadikusumo dahulu) Merdeka 3 Maret yang lalu.
Unik juga.
Disamping pemerintahan (yang menyumbang kendaraan dan uang biaya
kampanye), ternyata Fosko Enam-enam satu-satunya lembaga
kemasyarakatan yang menyuarakan bantuan dan perlakuan sama terhadap
ketiga “kontestan”. Padahal titik berangkatnya berlainan. Kalau
pemerintah, melaui doktrin “keikutsertaan sebagai tolok ukur
demokrasi bukan prosesnya”, memberi perlakuan dan bantuan serupa
kepada ketiga “kontestan” agar tidak bersaing tajam, Fosko
Enam-enam justeru sebaliknya.
Fosko menghendaki
tema-tema baru - yang kalau diikuti semua “kontestan”, justeru
akan menyemarakkan suasana, menghangatkan suhu dan membisingkan
telinga kita: semuanya harus benar-benar setaraf dan sama berhak atas
kemenangan. Padahal langkanya kedua hal itulah yang justru membuat
pemilu kita dimasa Orde Baru ini ( sejauh ini, dari th 1971 hingga
1981) benar-benar sesuai dengan
asas ATTD di atas.
Nah, kalau diikuti
logika dan kenginan Fosko ini, seharusnya diberikan juga bantuan
kepada “kontestan” ke empat, yaitu kelompok gelandangan bernama
Golput (dulu berarti putih, kini berarti putus harapan).
Kelompok terakhir
ini dalam dunia spion melayu dijuluki OTB (Organisasi Tanpa Bentuk).
Karena tidak punya, lokasi dan cara kerja yang jelas. Kecuali
kejengkelan terhadap keadaan, tidak ada yang membuat mereka sama
diluar hal-hal biologis tentunya. Yang perlu dipersoalkan adalah
status mereka : mengapa
dinamai kontestan? Ternyata sebabnya mudah saja: mereka berjuang untuk
memenangkan sesuatu dalam
pemilu.
Kalau
ketiga kontestan lain ingin menyuarakan aspirasi kongkrit
melalui proses kampanye pemilu,orang-orang Golput (dalam artian
hampir-hampir putus nyawa ) juga ingin menyuarakan aspirasi mereka
melaui forum yang sama. Sayang mereka tidak diperkenankan turut
kampanye.
Nah kalau Fosko
enam-enam ingin menyukseskan Pemilu 1982 secara sunguh-sungguh,
sebenarnya ia haruslah juga memberikan sumbangan tema dan tenaga
kepada Golput.
Entah lagi kalau
Golput (yang kini berstatus putus hubungan ) juga dilarang menerima
sumbangan dalam bentuk apapun.
(Sumber: TEMPO,
20 Maret 1982)
|