logo gusdurnet

top.gif (1689 bytes)

spacer gif
spacer gif
spacer gif
 
halaman muka
politik
ekonomi
opini
klasik
gusduria
 

kontak redaksi »



spacer gif
spacer gif

Mikrokosmos Seorang Masjumi

Oleh Abdurrahman Wahid


Perawakannya sedang, dengan raut muka halus, kulit  putih bersih dan rambut mulai menipis di bagian depan. Berpakaian safari suit yang sesuai dengan kendaraan yang dipakainya, sebuah Toyota Corolla DX, ia tampak sesuai dengan jabatannya selaku manajer sebuah usaha bisnis patungan dengan penanam modal ‘kecil’ dari salah satu negara Asia (non-Jepang).

Penampilan seperti itu diimbangi oleh sikp yang sangat sopan, suara yang tidk terlalu lantang dan cara berbicara yang selalu merendah. Walhasil penampilan gabungan antara keapikan dan kesopann Timur dan kewibawaan eksekutif masa kini.

Karenanya tidak mengherankan jika penulis terkejut dengan ucapan perkenalannya: “Saya tidak tidak mempunyai hubungan dengan organisasi keagamaan dan politik manapun, karena saya pengusaha. Tetapi saya sebenarnya saya simpati kepada Masjumi.” Sesuatu yang aneh untuk tahun 1983. Ada sektor moderen dari masyarkat kita  masih menggali akar identitasnya pada gerakan  yang bubar pada masa pemerintahan Orde Lama.

“walaupun orang awam di bidang agama, karena tidak dididik dalam pengetahuan agama kebetulan saya  punya nasib baik.” Apa nasib baik itu, dalam pandangannya? “orang tua saya yang selalu berpindah dari satu kota ke kota lain karena mengikuti mutasi perusahaan tempatnya bekerja, selalu mendapat rumah dekat masjid.”kalau demikian mengapakah ia tetap ‘awam’?Karena saya hanya mengambil fungsi yang paling sederhana. Seperti  menjadi penabuh  bedug dikala senggang”.

Namun, ‘dedikasi’ seperti itulah yang membawanya kepada keyakinan agama dan penghayatan secara total. “ Agama yang menuntut saya untuk tidak  turut hanyut dalam berbagai hal yang menjadi ekses modernisasi.” Dan karena itu ia lalu menjadi muslim aktif yang sadar benar masalah-masalah yang dihadapi agama yang dicintainya itu. Dus, bukan orang yang benar-benar awam.

“Mengapa kita kok terlalu jauh tertinggal dari Malaysia, dalam penerapan Syariat Islam?’ tanyanya  dengan nada separuh menyesali. Diterangkan  kepadanya, bahwa kesadaran beragama dapat mengambil bentuk bermacam-macam, tidak selalu harus bersifat syaria’at, ia tersenyum.

“Memang, Pak, yang saya dambakan adalah munculnya teknokrat Muslim yang menguasai jalannya pemerintahan, tetapi berpandangan luas. Tidak terlalu fanatik dan berwawasan sempit, Taruhlah seperti Nurcholis Madjid, Ridwan Saidi, Akbr Tanjung, Abdul Gafur. Bukankah mereka semua orang-orang HMI?’ tanyanya dengan polos, tidak menyadari betapa luasnya spektrum  pandangan (yang mungkin bertolak belakang) antara keempat orang yang disebutnya. Dilihat dari sudut ini, tampak jelas betapa benar pengakuannya, bahwa ia orang Masjumi.

Simpati itu tampak ketika menyinggung golongan lain. “Orang PSI sebenarnya baik-baik, Pak” - dan di gambarkannya mereka sebagai ‘teman  seperjuangan’. Ini dilanjutkannya dengan pertanyaan tentang GMNI. “Apa mereka masih sekuler?’ Sebuah pertanyaan yang dalam konteks ini menjadi tak bisa terjawab sama sekali - kecuali dengan menyatakan bahwa mereka pun kini menunjukkan simpati besar kepada Islam. “Saya dari kecil bergulat dengan kehidupan kota besar, di Bandung. Tetapi dari titik pangkal masjid. Karena itulah saya kagum kepada para pemimpin Masjumi,”dmikian dijelaskannya.

Namun jangan dikira orang ini hanya memiliki pandangan sesisi tentang masalah-masalah kehidupan. Dan diuraikannya artikel tulisan Nathanel Eliahu, bekas duta besar Israel di Washington, yang memisahkan antara Islam dan Arab. Panjang lebar dikemukakannya keharusan bagi Israel dan Palestina untuk bersedia hidup berdampingan dalam dua negara yang berdampingan.

Ethos kerja orang Korea, Taiwan, Jepang, dan Singapura, dipujinya. “ Saya terpengaruh ucapan seorang pengamat, bahwa budaya Sinik memang mempunyai kekuatan tersendiri. Lihat saja vietnam dan Korea yang mengembangkan ethos kerja keras begitu tangguh.”dilanjutkannya dengan  bercerita tentang pengusaha-pengusaha ‘Asia Sinik’ yang selalu sederhana dan tidak mudah bermewah-mewah, dan lain-lain sifat terpuji.

Dikontraskannya hal itu dengan melempemnya bangsa kita sendiri, yang lemah dalam segala hal. “Malaysia masih mending, Pak.Masih ada pemerintahan bersih. Clean Goverment yang saya bahagia melihatnya, karena dilakukan  oleh orang Muslim patuh. Seperti datuk Mahathir, juga yang lainya.”Ketika dikemukakan bahwa pemerintahan bersih di Malaysia  adalah warisan Inggris, dan dilakukan juga oleh pejabat-pejabat China dan India yan beragama lain, ia tampak tidak begitu terpengaruh. Pokoknya ada orang Muslim memerintah secara bersih, sudah memuaskan baginya.

Bicara kian-kemari selama hampir satu jam, tampaknya jelas pandangan hidupnya sangat kosmopolitan, dalam arti tanggap terhadap kebutuhan dunia masa kini dan mampu menerima kehadiran orang-orang berpandangan lain. Liku-liku dunia usaha, yang menjadi perhatian utamanya, digambarkan secara jelas, menunjukkan kemampuan dirinya untuk menceburkan diri dalam percaturan dan persaingan sengit dengan orang lain.

‘Kemasjumian’nya adalah bagian dari keutuhan dirinya.Dan dengan modal itu  ia berkecimpung dalam kehidupan moderen tanpa harus larut dalam suasana yang tidak jelas. Baginya jelas mana yang menjadi batas antara tuntutan dunia yan harus dipenuhinya dan mana yang menjadi ‘wilayah kehidupan beragama’ yang utuh dan dinamis. Ada semacam proses tolak-angsur, keadaan memberi dan menerima, yang dijalaninya dalam kehidupan pribadinya maupun dalam profesi.

Ini ternyata dari ‘misi’ yang dibawanya kepada penulis: minta pertimbangan, ke pesantren mana sebaiknya dikirimkan anaknya yang baru tamat SMP. “Saya ingin anak saya sukses dalam hidup. Namun lebih dari itu, saya  ingin ia mampu mengembangkan akhlak yang baik dalam hidupnya.”

Sebuah sikap tuntas yang mengagumkan juga. Bukankah ia sudah tahu kejamnya persaingan hidup di masa kini, apalagi dimasa depan? Mengapa ia tidak lalu menempatkan anaknya Di SMA faforit, seperti umumnya elite politik, budaya dan ekonomi kita saat ini? Tidakkah ia tahu betapa resiko mengirimkan anak ke pesantren, dengan kemungkinan sangat besar sang anak tidak dapat mencapai apa yang diraihnya sendiri saat ini?

Mikrokosmosnya ternyata masih berorientasi pada keyakinan agama, betapa jauhnya sekalipun hidup telah menghanyutkan kegiatannya. Tetap tekun menjalankan perintah agama sedapat mungkin, tetap yakin bahwa moralitas lebih penting dari sukses material, dan merasa  bahwa dengan pola kehidupan seperti itu ia tetap mampu merengkuh modernitas dalam arti penuh.

Prototip tulen seorang Masjumi. Dan ‘seni’nya adalah ketika ia menyatakan kepada lawan bicaranya yang NU akan affiliasinya itu: “Maaf, Pak, saya sebenarnya orang Masjumi, tetapi merasa perlu konsultasi dengan Bapak”.

(Sumber: TEMPO, 30 Juli 1983)

 

 

GusdurNet | 2000
webmaster@gusdurnet.com