logo gusdurnet

top.gif (1689 bytes)

spacer gif
spacer gif
spacer gif
 
halaman muka
politik
ekonomi
opini
klasik
gusduria
 

kontak redaksi »



spacer gif
spacer gif

Ramai-ramai Menolak Adopsi

Oleh Abdurrahman Wahid


Berbeda dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup tinggi dalam masyarakat kita. Mulai dari bisnis industri macam-macam hingga bisnis olah raga, semuanya memakai bapak angkat. Bahkan pemerintah turut mencanangkan sistem  pengembangan suatu sektor  kehidupan masyarakat dengan menggunakan bapak angkat. Peringatan para cendekiawan bahwa sistem bapak angkat nantinya akan macet ditangan anak emas, sering tidak dihiraukan

Tetapi persoalannya ternyata tidak begitu mulus dengan jenis bapak angkat lain, yang berhubungan dengan adopsi. Banyak pro-kontranya. Yang setuju, tentu, mula-mula para perantara yang mengusahakan adopsi - apalagi yang memperoleh laba besar. Sesudah itu orang yang tidak punya anak, yang memandang adopsi akan memberi  kesenangan sebagaimana  yang dirasakan orang lain yang tampak bahagia.

Tetapi yang menolak bukan main-main ‘tanda pengenal’nya. Tidak kurang dari para ulama. Juga para pemuka Islam . Tak Ketinggalan tentu ‘barisan depan’ mereka, seperti kaum remaja masjid dan sejumlah cendekiawan muslim. Banyak argumen dikemukkan. Untung, pihak Majelis Ulama belum secara resmi mengumumkan adopsi sebagai dosa seperti dalam kasus sterilisasi, tubektomi dan vasektomi - baru-baru ini.

Mengapa masih begitu-begitu saja reaksi ‘juru bicara  Islam’ terhadap berbagai masalah kini? Apakah Islam tidak mau tahu nasib orang yang menderita karena tidak punya anak ? Atau tidak kasihan melihat bayi-bayi yang akan  terangkat nasibnya tanpa diambil anak orang lain yang bernasib lebih baik?

Pertanyaan itu wajar - walau di dalamnya masih terselip sebuah kesalah pahaman tentang sikap Islam terhadap masalah-masalah keluarga dan kemasyarakatan, khususnya disini sehubungan dengan adopsi.

Dalam Hukum Islam, hubungan  kekeluargaan menyangkut dua aspek utama. Yaitu nasab (keturunan) dan pergaulan sesama anggota keluarga (hirmath). Aspek keturunan akan menentukan hak anak atas warisan, yang dapat berkembang juga menjadi hak saudara atas harta saudara, kakek atas harta ayah, ayah atas harta anak, suami atas harta istri dan sebaliknya, ibu atas harta anak pula, dan seterusnya.

Sekali hak itu ditegakkan, ia harus diikuti secara tuntas. Dalam kasus orang meninggal tanpa punya anak seorang pun, hartanya harus dibagi antara istri, ayah, atau ibu, saudara, dan seterusnya, sudah tentu dalam kombinasi yang kompleks.Itu semua ilmu tersendiri dalam Hukum Islam : ilmu pembagian harta waris, Faraid.

Anak orang yan diangkat menjadi anak sendiri dengan sendirinya akan menggeser kedudukan angota keluarga yang  mungkin akan akan memperoleh warisan. Ini tentu menyulitkan - atau menggagalkan seluruhnya - sistem waris yang struktur dasarnya sudah  ‘disahkan Allah’. Tidak heran masalahnya  lalu ditanggapi secara emosional : takut kepada implikasi ‘kutak-katik hukum Allah’.

Aspek kedua. Seorang anak, ayah,  ibu,, saudara kandung, saudara tiri, paman, bibi, kemenakan, kakek, nenek, cucu, semuanya itu sah sebagai keluarga langsung. Tidak dapat dikawin.  Pergaulan dapat dilakukan ‘bebas’, dalam arti tak ada larangan untuk bertemu mungkin karena  tidak dikhawatirkan akan berkencan.

Berbeda dengan orang lain. Suami dan istri hanya boleh bergaul bebas melakukan hubungan seksual, kalau telah sah menjadi suami istri. Itupun masih terbawa ‘status orang luar’ yang dimilikinya sejak sebelum kawin. Yakni dalam soal batalnya wudu: istri dan suami akan batal wudu mereka begitu bersentuhan kulit. Kalau  ke dalam persepsi hukum  agama seperti itu lalu masuk ‘unsur baru’, berupa anak pungut yang tidak punya garis kekeluargaan langsung, tidak usah diherankan muncul reaksi. Apalagi kalau dikaitkan dengan kecurigaan antaretnis, ‘jiwa kebangsaan’, dan seterusnya.

Di lain pihak, perbenturan budaya  dengan masyarakat-masyarakat lain telah membawakan tuntutan untuk menerima gagasan adopsi. Humanisme Barat, umpamanya menganggap tindakan memungut anak sesuatu yang terpuji  didasari penghormatan yang sama kepada manusia, baik keturunan sendiri , maupun bukan, baik asal-usul etnisnya sama atau tidak.

Perkembangan historis juga membawakan tuntutannya sendiri. Berabad-abad lamanya berbagai kawasan  dunia menyaksikan kekuatan politik yang berbeda-beda menyusun koalisi dengan sistem angkat-menangkat anak dan bapak, atau mengatur hubungan antar manusia secara lebih manusiawi.

“Tuduhan” yang tidak sepenuhnya tepat itu, sebenarnya sudah sering tampak dalam hal-hal lain. Rigiditas atau kekakuan Hukum Islam sering dikeluhkan orang. Para ulama dan pemuka Islam tidak punya jalan selain mempertahankan kekakuan itu, selama orientasi legal-formalistik dijadikan pendekatan dalam masalah.

Sudah waktunya  dipikirkan sebuah pendekatan yang lain, yang memperlakukan manusia secara lebih menyeluruh, berdasar konsep yang lebih bulat memandang, manusia dalam kehidupannya. Kalau tidak , alternatifnya: di kala para agamawan sibuk mempertahankan penolakan atas gagasan adopsi anak, warga masyarakat Islam melakukannya atas prakarsa sendiri, tidak berkonsultasi dengan mereka. Oh, Islam,  dimanakah engkau?

(Sumber: TEMPO, 5 November 1983)

 

 

GusdurNet | 2000
webmaster@gusdurnet.com