logo gusdurnet

top.gif (1689 bytes)

spacer gif
spacer gif
spacer gif
 
halaman muka
politik
ekonomi
opini
klasik
gusduria
 

kontak redaksi »



spacer gif
spacer gif

Tradisi, Kebudayaan  Moderen, dan Birokratisasi

Oleh Abdurrahman Wahid


Sudah lebih dari 50 tahun yang lalu Polemik Kebudayaan berlangsung, tapi masih juga di pertentangkan antara tradisi dan kebudayaan moderen. Sutan Takdir Alisjahbana masih juga menggebu-gebu dalam hal itu, dan lawan polemiknya dahulu juga masih tetap pada persoalan yang sama. Mereka masih ada yang menolak kebudayaan moderen, dan tetap mengagung-agungkan masa  lampau Sriwijaya, Majapahit,  dan Mataram sebagai ‘ukuran baku’ kebesaran masa lampau bangsa kita.

Yang mengherankan, perdebatan itu terjadi tanpa satu pun yang mencoba melakukan proyeksi substansi yan mereka pertikaikan pada kenyataan lapangan yang sama sekali berbeda. Baik mereka yang mempromosikn modernisasi maupun yang menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinjak pada kenyataan yang berkembang. Dialog seperti itu terasa tragis. Di satu pihak, kita menghabiskan energi dan waktu untuk berdebat  hanya pada masalah dasar belaka. Tidak pernah beranjak ke tingkat lebih kongkret, seperti menyimak operasionalisasi nilai-nilai tradisional kepada lahan kehidupan yang dituntut untuk ‘serba moderen’. Di pihak lain, perkembangan keadaan berjalan terus tanpa mahu tahu apa yang diributkan pendukung modernitas dan pecinta tradisionalisasi.

Dalam kenyataan, perubahan yang terjadi sudah berlangsung sangat jauh. Aspek-aspek seremonial dari kebudayaan traisional telah ‘dimodernisasikan’ dengan jalan dieksploitasikan   oleh industri pariwisata. Pesantren tidak lagi repot dengan hanya kajian rutin acuan ‘kitab kuning’ belaka, melainkan menggunakannya sebagai sumber inspiratif untuk modernisasi hidup pedesaan. Bukan sekedar menjadi lembaga pendidikan agama dalam artian tradisional, melainkan menjadi pangkalan untuk mendirikan dan melestarikan lembaga swadaya masyarakat LSM. Dalam fungsi tersebut, banyak pesantren  telah memasuki era kehidupan baru, yaitu sebagai lembaga pengembangan swadaya masyarakat. (LPSM).

Demikian pula, apa yang dinamai kebudayaan modern telah menyadari pentingnya integrasi organik antara nilai-nilai lama dan visi budaya yang baru. Dengan cara meraba-raba, melalui berbagai kesalahan dan uji coba, sebuah proses kontekstualisasi visi budaya kita sedang berlangsung. Masalah pokoknya bukan lagi seperti rasionalitas haruskah  diterima atau tidak, melainkan bagaimana ia dipergunakan untuk mendorong munculnya kreativitas dari tradisi. Tantangannya adalah bagaimana mencegah rutinisasi kehidupan budaya kita.

Namun, sebuah bentuk rutinisasi lain justru yang mulai melanda kehidupan budaya kita. Rutinisasi dalam bentuk peranan birokrasi pemerintahan yang semakin hari semakin menentukan. Hingga hari ini memang masih belum menjadi birokratisasi kebudayaan kita, tetapi sudah cukup untuk membuat pengap suasana kehidupan budaya. Kreativitas bukan menurun oleh tarik urat antara tradisionalisme dan modernitas budaya, melainkan oleh meningkatnya peranan birokrasi pemerintahan dalam kehidupan budaya.

Bagaimana memacu kreativitas dalam kelesuan suasana, itulah masalah utama kita saat ini. Mampukah kita menembus kelesuan itu?

(Sumber: TEMPO, 31 Mei 1986)

 

 

GusdurNet | 2000
webmaster@gusdurnet.com