logo gusdurnet

top.gif (1689 bytes)

spacer gif
spacer gif
spacer gif
 
halaman muka
politik
ekonomi
opini
klasik
gusduria
 

kontak redaksi »



spacer gif
spacer gif

Gus Dur, Si Politikus Ulung

Oleh: Moh Mahfud


Berbagai Predikat

Banyak sebutan atau predikat diletakkan pada Presiden Gus Dur sesuai dengan pengetahuan dan keahliannya yang memang sangat luas. Predikat-predikat itu misalnya ulama, seniman, budayawan, wali, politikus, negarawan, komentator sepakbola dan sebagainya.

Gus Dur adalah ulama karena selain berdarah biru NU dan keturunan ulama dia sendiri adalah seorang alim dan menjadi tokoh utama dari Nahdlatul Ulama pada saat ini. Dia adalah putera sulung dari KH. Wachid Hasyim dan cucu langsung dua ulama besar pendiri NU yakni Hasyim Asy’ari dan Bisri Syamsuri. Penguasaannya atas kitab-kitab uatama rujukan NU sangat dalam.

Gus Dur juga sering disebut sebagai budayawan dan seniman karena pemikiran dan kiprahnya dalam bidang ini juga cukup dalam sampai-sampai pernah menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia. Bahkan dalam gerakan Islam modern di Indonesia Gus Dur sering disebut sebagai tokoh yang paling otentik dalam gerakan Islam kultural. Gus Dur juga paham tentg dunia perfilman dari berbagai belahan bumi dan paham atas begitu banyaknya karya sastra.

Di kalangan warga nahdliyyin (pengikut NU) banyak juga yang percaya bahwa Gus Dur adalah wali, yakni orang yang oleh Allah dianugerahi kemampuan luar biasa dalam melakukan atau menunjukkan hal-hal yang tidak nalar atau ghaib, seperti mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat jauh, mengetahui masalah-masalah ghaib yang ada di balik satu fenomena, dan berperilaku aneh-aneh untuk mengisyaratkan sesuatu. Di kalangan orang-orang yang percaya atas kewaliannya, Gus Dur selalu dianggap benar. Semakin Gus Dur mengatakan bahwa dirinya tidak wali maka semakin percayalah mereka bahwa si Gus adalah wali. Jika Gus Dur berbuat sesuatu yang benar menurut pandangan umum maka mereka sebut itulah bukti kewalian Gus Dur, tetapi jika Gus Dur salah maka kata mereka kitalah yang salah dalam memahami maaksud Gus Dur.

Semua orang juga tahu bahwa Fus Dur adalah penggila sepakbola. Selain hapal nama-nama pemain top dunia dan pelatih-pelatihnya dia juga bisa menjadi komentator yang sangat menarik dari sebuah siaran langsung perebutan piala dunia yang digelar empat tahun sekali oleh FIFA.

Gus Dur juga dikenal luas sebagai politikus yang handal karena selain membuat analisis politik dia adalah pemain politik yang sangat lihai. Pada suatu saat trik politiknya mampu mengecoh lawan tanpa diduga-duga untuk kemudian pada saat lain dapat membuat situasi memaksa atau fait accompli agar politisi lain mendukung dirinya. Namun jika melakukan kesalahan dengan enteng menyatakan “ya sudah, gitu saja kok repot-repot.” Lagi-lagi pengikutnya yang percaya semakin yakin bahwa dia adalah wali.

Presiden keempat Indonesia ini juga sering disebut sebagai negarawan karena sikapnya yang sangat terbuka dan mengayomi terhadap seluruh elemen bangsa. Sebagai pimpinan ormas Islam terbesar yang terkesan ortodoks yakni NU, Gus Dur justru menunjukkan sikap yang terbuka, progresif, fan bersahabat dengan tokoh-tokoh gereja. Dialah juga tokoh besar pertama yang memberi dukungan atas perkawinana penganut Kong Hu Cu di catatan sipil yang kemudian berlanjut ke PTUN di Surabaya. Dia sendiri mengatakan tidak ingin menjadi presiden dan lebih suka menjadi “guru bangsa”.

Politikus Ulung

Kecuali soal wali tampaknya berbagai predikat tersebut tidak terlalu berlebihan jika diberikan kepada Gus Dur karena Gus Dur  mrmang sangat tinggi kapasitasnya untuk menyandang predikat-predikat itu. Tetapi yang paling dominan dari semua itu adalah predikat Gus Dur sebagai politikus. Tak pelak Gus Dur adalah politikus ulung atau paling hebat di negeri ini. Kapasitasnya dalam berbagai predikat selain sebagai politikus digunakan oleh Gus Dur untuk memperkuat manuver-manuvernya sebagai politikus.

Seperti dikatahui politikus adalah orang yang bermain politik untuk maraih dan mempertahankan kekuasaan dan selalu berpikir bagaimana agar dirinya menang dalam berbagai kontes politik. Sifat kenegarawanan yakni sikap untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara memang ada pada Gus Dur tetapi sifat itu masih berada di bawah sifatnya sebagai politikus kelas atas. Bahkan sikap kenegarawanan itu sengaja dibangun untuk mendukung permainan politiknya. Oleh sebab itu semua tingkah laku, pernyataan-pernyataan dan kebijakan Gus Dur harus dipahami dalam kedudukannya sebagai politikus yang sangat sadar akan konfigurasi pendukung dan penentangnya.

Tumbuhnya Gus Dur sebagai politikus tidak lepas dari lingkungan keluarga dan silsilahnya yang memang merupakan politikus-politikus kawakan dari kalangan gerakan Islam. Dia adalah anak sulung dari Wachid Hasyim yang dikenal sebagai tokoh NU dan menjadikan NU sebagai partai politik, melepaskan diri dari Masyumi pada awal tahun 1950-an. Dia juga merupakan cucu dari dua ulama besar pendiri NU yang aktif  berpolitik sejak zaman penjajahan yakni Hasyim Asy’ari dan Bisri Syamsuri. Sangat boleh jadi bibit, pengenalan, dan minat Gus Dur atas politik telah tumbuh sejak usia masih sangat belia melalui penglihatan dari dekat atas aktivitas ayah, ibu, dan kakeknya dalam politik serta hubungan mereka dengan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan sebagainya.

Sebagai politikus yang tampaknya telah lama mempersiapkan diri untuk tampil sebagai aktor politik yang besar maka Gus Dur telah menyadari bahwa untuk bisa tampil dengan mulus dalam pentas perpolitikan nasional di Indonesia haruslah membangun kesan dan jaringan secara lintas ikatan-ikatan primordial dan lintas aliran-aliran politik. Gus Dur tahu bahwa kesan eksklusif atas diri dan kelompoknya harsu dihindari, sebab jika itu terjadi akan sulit mendapat dukungan luas di negara yang sangat pluralistik ini. Dia menyadari bahwa sikap-sikap eksklusif dalam dunia perpolitikan di Indonesia tidak akan memberi hasil maksimal bagi perjuanagan politik, sekalipun eksklusivitas ini memiliki pengikut besar seperti besarnya (jumlah) umat Islam yang dipimpinnya di Indonesia. Posisi ekstrem dalam aliran politik dilihat oleh Gus Dur tidak hanya akan menyulitkan dirinya untuk menjadi pemenang dalam permainan politik. Baik ekstremitas nasional sekuler maupun ekstremitas nasionalis Islami akan sulit bisa tampil menjadi pemain politik utama. Sikap menerima dan mengayomi ke dua aliran akan lebih menjamin untuk mulus dalam kontestasi politik.

Itulah sebabnya sejak awal Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh NU dengan berbasis Islam tradisional telah melakukan terobosan secara berani dengan melakukan hal-hal yang agak “aneh” bagi kalangan umat Islam sendiri. Gus Dur misalnya membuat pernyataan yang melawan arus umat ketika mengatakan bahwa hukum Islam tidak bisa menjadi hukum negara (atau undang-undang) ketika umat Islam justru sedang memperjuangkan lahirnya UU tentang Peradilan Agama. Dia juga menyatakan dengan enteng bahwa sapaan assalamu’alaikum tidak beda dengan sapaan selamat pagi atau selamat sore justru di tengah kenyataan bahwa umat Islam sedang sangat senang dengan penggunaan assalamu’alaikum di berbagai pertemuan resmi berbagai instansi. Gus Dur juga dapat disebut sebagai orang pertama yang keluar masuk gereja dan menjalin hubungan akrab dengan tokoh-tokoh agama lain. Di kalangat umatnya sendiri banyak keluahan kepada Gus Dur karena jika ada konflik antara umat Islam dengan umat lain Gus Dur  tidak pernah membela umatnya. Saya kira piliha sikap seperti ini diambil dengan sadar karena dia yakin sikap Gus Dur itu tidak akan terlalu membahayakan atau merugikan umat, karena Gus Dur tahu akan muncul pembela-pembela umat selain dirinya. Sebagai politikus mungkin dia berpura-pura saja membiarkan umatnya karena dia tahu bahwa banyak pemimpin umat lainnya yang pasti membela. Untuk memperkuat akseptabilitas atas berbagai golongan di Indonesia selain berani mengambil posisi berseberangan dengan tokoh khsrismati NU, As’ad Syamsul Arifin, Gus Dur juga mencela sikap berlebihan sementara kaum muslimin yang begitu bersemangat membela Islam dangan mengatakan bahwa “Tuhan tidak  perlu dibela”. Ketika Pak Harto dijauhi oleh tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan Pak Harto setelah lengser dari jabatannya, Gus Dur justru mengunjungi mantan presiden itu, karena Gus Dur tahu bahwa pendukung-pndukung Pak Harto masih banyak. Untuk menjadi presiden akan lebih mudah bagi Gus Dur jika tidak di hambat oleh pengikut-pengikut Pak Harto yang diyakini masih kuat. Jadi sikap Gus Dur itu tidak semata-mata dapat dipahami sebagai sikap seorang kyai yang mudah memaafkan melainkan sebagai strategi untuk pemilihan presiden di mana dia akan bertarung melawan kandidat-kandidat lain.

Itu semua dilakukan oleh Gus Dur untuk membangaun citra diri sebagai orang yang tidak berbahaya bagi kelompok manapun sehingga, dengan citra inklusif itu mudah baginya untuk diterima sebagai pemimpin. Dengan demikian Gus Dur telah bekerja keras dan lama untuk merebut posisi politik tertinggi di negeri ini. Dan kiita melihat puncak keberhasilan perjuangan politik Gus Dur itu pada bulan Oktober tahun 1999 ketika benar-benar menjadi orang nomor satu di Indonesia. Itu harus dicatat sebagai hasil perjuangan politik seorang politikus yang bernama Gus Dur, buka sebagai produk kewalian atau sikap kenegarawanan.

Karena impian atau oriebtasi Gus Dur pada dasarnya adalah politik maka meskipun sikap-sikap keluarnya selalu meneriakkan demokrasi dan keterbukaan, bahkan mendirikan dan memimpin Forum Demokrasi (Fordem), tetapi ke dalam kalangan NU sendiri dia bukanlah orang yang benar-benar demokratis. Di kalangan teman-teman NU diketahui bahwa hanya mereka yang mau tunduk dan selalu mengamini Gus Dur sajalah yang  akan dibaiki oleh Gus Dur sedangkan yang kritis terhadapnya dicemberuti. Dalam pembentukan pengurus PKB ketika paratai berbasis nahdliyyin itu dibentuk pada tahun 1998 Gus Dur pula yang secara ngotot menentukan pimpinannya meskipun banyak ulama NU yang menghendaki nama-nama lain.

Begitu juga sikap-sikapnya yang inklusif dapat sewaktu-waktu menjadi eksklusif jika itu diperlukan untuk menaikkan posisi tawarnya dalam pertarungan politik. Maka tidak heran ketika usai pemilu 1999 banyak orang dibuat bingung sebab setelah cukup lama menyatakan mendukung Megawati sebagai calon presiden dalam sebuah diskusi di Singapura secara tiba-tiba Gus Dur mengatakan bahwa Megawati tidak bisa menjadi Presiden Indonesia karena sebagian besar orang Islam masih mengikuti pendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi presiden. Pernyataan itu memang normatif dan sesuai dengan realitas, tetapi bagaimanapun pernyataan itu bertendensi menaikkan posisi tawar dirinya sendiri. Di saat lain dia mengatakan bahwa Megawati itu “bodoh tetapi jujur”. Ketika bursa calon presiden paada SU_MPR tahun 1999 sedang panas-panasnya dalam acara santap malam bersama Amien Rais di sebuah restoran Gus Dur menyatakan bahwa siapapun yang akan mengahlang-halangi gerakan Islam akan berhadapan dengan dirinya, suatu pernyataan yang sebelumnya sulit dibayangkan bisa dikeluarkan oleh Gus Dur yang sikapnya sangat inklusif. Tetapi itu tetaplah dapat dipahami sebagai manuver untuk menaikkan daya tawar yang ternyata cukup efektif karena sambutan umat atas pernyataan itu begitu hangat. Pada detik-detik terakhir pengesahan calon presiden sikap eksklusif  untuk mencari dukungan juga tampak. Ketika itu secara berbisik Hartono Marjdono dari FPBB menanyakan apakah Gus Dur akan mengundurkan diri dari pencalonannya. Bagi FPBB kepastian itu penting sebab jika Gus Dur akan mengundurkan diri maka Yusril Ihza Mahendra akan terus maju dalam pemilihan, tetapi jika Gus Dur terus maju Yusril akan diterik dari pencalonan agar Gus Dur bisa menang atas Megawati. Waktu itu Gus Dur menjawab sambil bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan mengundurkan diri, daripada negara ini dipimpin oleh orang abangan seperti dia (sambil menuding Permadi yang pendukung berat Megawati), rusak negara ini, “ demikian Hartono mengutip Gus Dur.

Pahami Agar Tak Bingung dan Frustasi

Berusaha memahami bahwa Gus Dur adalah politikus, minimal predikat politikusnya jauh lebih kuat dari sifat kenegarawanannya, akan menolong kita untuk tidak bingung atau frustasi. Perlu dipahami bahwa tindakan-tindakan Gus Dur pada umumnya adalah tindakan politikus yang ingin mendapat dukungan dalam kekuasaan untuk kemudian mempertahankannya. Kalau kita terlalu percaya bahwa Gus Dur ini negarawan atau wali maka kita akan bingung dan mungkinfrustasi. Sulit membayangkan bahwa seorang negarawan atau wali mengibaratkan perbandingan antara PKB dan PPP seperti perbedaan antara telur dan tahi ayam. Sebenarnya Gus Dur hanya melakukan pekerjaannya dengan benar dan jujur sebagai politikus yang berintikan pada soal kekuasaan dan dukungan. Dan itu dadalah hak politik Gus Dur yang dijamin oleh konstitusi dan diperjuangkannya sejak bertahun-tahun. Manuver-manuver Gus Dur itu selain dibenarkan oleh konstitusi sebagai penggunaan hak politik seorang politikus juga telah menimbulkan hikmah terselubung (blessing in disguised) yakni munculnya kekuatan-kekuatan masyarakat  untuk bereaksi dan melakukan protes atau perlawanan terhadap Gus Dur tanpa dihadapkan pada tindakan represif. Memang dalam melakukan manuver-manuvernya Gus Dur itu bersikap berani dan fair serta tidak menggunakan kekuasaannya untuk melakukan penindasan atai represi. Ini sangat sehat bagi perkembangan demokrasi.

Memang Gus Dur adalah poltikus ulung yang manuver-manuvernya sangat canggih. Itu didukung oleh pengetahuannya yang luas dalam berbagai bidang, pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan, serta pembawaannya yang tenang dan terkesan selalu enteng dan penuh humor. Terhadap semua manuver dan kebijakan yang dikeluarkannya biasanya, dengan kecerdasannya yang luar biasa, Gus Dur mempunyai jawaban retoris yang mampu membuat pihak lain menerima meskipun sambil nggrundel, seperti kasus pembubaran Deppen dan Depsos yang sebenarnya tidak terlalu masuk akal. Namun wacana yang dibuka Gus Dur tentang pencabutan Tap MPRS No XXV/MPR/1966 yang disertai sikap ngotot untuk mengusulkannya kepada MPR tampaknya menjadi maslaha yang tidak mudah untuk ditangkis dengan retorika seperti biasanya. Isu pencabutan Tap yang kemudian ditimpali sengan kasus pencopotan Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla dari jabatan menteri tealah memancing timbulnya perlawanan politik yang mengarah pada pendongkelan Gus Dur secara konstitusional melalui MPR.

 Kasus ini memang telah menimbulkan situasi baru yang mungkin merupakan hikmah terselubung bagi rakyat Indonesia, meskipun tidak bagi Gus Dur, yakni mendekatnya berbagai kekuatan politik yang tadinya dapat dikatakan bermusuhan. Untuk menyikapi Gus Dur dan menyongsong kemungkinan Sidang Istimewa pihak PPP yang tadinya menolak mati-matian Megawati menjadi presiden sekarang sudah menyatakan tidak keberatan jika Ketua PDI-P menjadi presiden. Seperti dikatakan Faisal Baasir, PPP sekarang dapat menerima presiden perempuan. Golkar yang menjelang pemilu 1999 menjadi musuh besar PDI-P sekarang sduah mulai lebih akrab. Bagi banyak orang ini bisa disebut sebagai hikmah terselubung, tapi bagi Gus Dur sendiri bisa menjadi ancaman atas kelangsungan kekuasaannya.

HTN Darurat

Kita masih menunggu dengan agak berdebar jurus-jurus apa lagi yang akan dimainkan oleh Gus Dur untuk keluar dari kepungan ini. Berdasar prosedur baku Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 memang tidak bisa dijadikan Sidang Istimewa, sebab untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa yang akan minta pertanggungjawaban presiden prosedurnya panjang dan perlu keputusan politik dari DPR dengan waktu lama sesuai dengan Tap MPR No. III/MPR/1978.

Tetapi dalam praktik tidak selamanya keputusan politik nasional itu harus mengikuti urut-urutan yang baku. Hukum Tata Negara (HTN) Darurat sering dipakai untuk melakukan perubahan besar. Bung Karno dulu mengeluarkan Dekrit Presiden melalui HTN Darurat, yakni membubarkan Konstituante dan memberlakukan UUD 1945 padahal itu bukan merupakan wewenang konstitusionalnya. Tetapi Bung Karno menyebut itu seagai tindakan darurat dan rakyat menerimanya. Peraliahan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie juga melalui HTN Darurat. Oleh sebab itu Gus Dur tak dapat menggantungkan diri pada prosedur HTN yang normal, sebab bisa saja tindakan darurat dilakukan oleh MPR. Jika sebagian besar parpol di MPR sudah menghendaki bisa saja MPR membuat ketetapan yang mencabut ketetapan-ketetapan yang mempersulit diselenggarakannya Sidang Istimewa danatas nama kedaulatan rakyat, MPR membuat ketetapan baru tentang Sidang Istimewa. Landasan bagi HTN Darurat ini jelas yakni adanya dalil bahwa “salus populi supreme lex”, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Jika MPR menganggap bahwa sebuah tindakan darurat harus dilakukan  untuk menyelamatkan rakyat dan negara maka tindakan itu harus dilakukan meskipun harus melanggar prosedur baku, bahkan meskipun harus melanggar konstitusi. Ada adagium yang sangat digemari oleh Gus Dur tentang ini yakni “vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Di Indonesia suara rakyat itu adalah suara MPR, sehingga apapun keputusan MPR harus dianggap suara rakyat, termasuk akalau MPR tiba-tiba mengagendakan Sidang Istimewa tanpa menunggu usul DPR sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jadi untuk Indonesia adagium itu bisa berbunyi “vox MPR, vox Dei”, suara MPR adalah suara rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dan Indonesia sudah beberapa kali mewujudkan makna adagium ini dalam melakukan perubahan-perubahan politik yang besar.

Moh Mahfud, Guru Besar Fakultas Hukum/Pembantu rektor I Universitas Islam Yogyakarta.

(Sumber: Makalah disampaikan pada Diskusi Memahami Gus Dur yang dielenggarakan oleh The Jakrta Post Perwakilan Yogyakarta, Senin 1 Mei 2000)

 

 

GusdurNet | 2000
webmaster@gusdurnet.com