Transkrip
Pidato Gus Dur dalam "Seminar Sehari Pemilihan Presiden Secara Langsung, Prospek dan
Tantangannya", Jakarta (25/5)
(
) karena itu menjadi tidak jelas, apakah Trias Politika yang dikemukakan
Montesquieau itu masih dipakai dalam acuan negara kita?
Diteruskan dengan perkembangan selanjutnya yaitu
adanya kabinet parlementer dengan Maklumat X atau (eks) dari Bung Hatta, positif
pemerintahan kita menjadi pemerintahan parlementer, bukan pemerintahan presidensial. Dan
itu diteruskan dalam Republik Indonesai Serikat serta dan juga dalam kabinet Undang-undang
Dasar Sementara, yaitu Kabinet Dr Hatta dan seterusnya sampai kepada Pemilu I. Setelah
Pemilu I kemudian dilanjutkan dengan dekrit presiden kembali kepada UUD 1945 yang
dikeluarkan Presiden Soekarno, 5 Juli 1959
Setelah itu Presiden Soekarno melakukan kampanye
bahwa kita tidak terikat dengan Trias Politika. Kalau kita memang sifatnya tidak terikat
dengan Trias Politika, mengapa ada Legislatif, Judikatif, dan Eksekutif? Inilah yang
dicoba dikaburkan oleh mendiang Presiden Soekarno, dengan apa yang dikatakan sebagai
Demokrasi Terpimpin. Ini diteruskan oleh pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Pak
Harto, yaitu penolakan terhadap Trias Politika dari Montesquieau. Sikap itu diteruskan
oleh bekas presiden BJ Habibie. Jadi dengan demikian kita bisa melihat bahwa kompromi yang
tadinya tercapai dalam batang tubuh UUD, yang sifatnya bersifat sementara, sesuatu yang
sifatnya terkaburkan, dikaburkan antara batang tubuh dan pembukaan UUD 1945. Dengan
demikian datanglah sikap daripada PDI Perjuangan yang mengatakan bahwa kita tidak boleh
mengubah pembukaan UUD tapi bisa meninjau kembali batang tubuh atau pasal-pasal UUD.
Kalau ini dilakukan, dan PDI-P adalah partai yang
terbesar di DPR dan MPR kita sekarang dan pikiran-pikiran itu banyak didukung orang, maka
dengan sendirinya timbul satu masalah yaitu apakah bangunan trias politika itu perlu
dilanjutkan kembali, dilanjutkan dengan arti kita kembali kepada bangunan itu atau tidak..
Di sini letaknya. Kalau kita membicarakan secara jujur, secara apa adanya dan terbuka,
maka mau tidak mau kita harus berbicara apakah kita menggunakan trias politika atau tidak.
Nah, DPR hasil pemilu, yang sekarang ini
beropersai, serta MPR-nya, jelas sekali dalam berbagai kesempatan menegakkan hal-hal yang
dilakukan oleh negara yang berdasarkan trias politika, pertama, badan yudikatif tidak bisa
dipengaruhi oleh badan lain. Untuk pengangkatannya juga pimpinan dari MA dipilih oleh DPR
dan kemudian ditetapkan dengan pemerintah, sebagai eksekutif yang akan mengangkat badan
yudikatif. Di manapun di di dunai ini, di Amerika Serikat, di Perancis, sistem
kontinental, sistem Amerika, sistem manapun, Jepang dan lain-lain.
Kalau memang demikian kita merujuk ke trias
politika. Sebagai bangsa kita nggak mau mengakui trias politika, tapi kita melaksanakan
trias politika. Ini yang di Quranul Karim dikatakan: ..ya kulu na maa laa
tafaluun artinya Anda berkata hal yang tidak Anda kerjakan, alias munafik. Bisakah
kita sebagai bangsa terus menerus bersikap munafik. Ini yang menjadi pikiran saya. Tidak
bisa. Suatu ketika kita harus bicara jelas. Boleh kita pakai trias politika atau tidak,
itu bukan urusan. Yang penting apakah kita benar-benar membagi kekuasaan yudikatif,
legislatif, eksekutif itu secara sungguh-sungguh. Nah kalau bersungguh-sungguh
konsekuensinya kita harus merubah batang tubuh undang-undang dasar kita. Yaitu kita
mengadakan perubahan pada pasal-pasalnya. Salah-satu di antaranya adalah pemilihan
presiden langsung oleh rakyat, tidak oleh MPR. Kalau dilakukan oleh MPR berarti kita sama
sekali tidak menunjukkan adanya kedewasaan dalam dalam pandangan kita karena kita masih
mencampur-adukkan antara legislatif dan yudikatif. Oleh karena itu saya mendukung adanya
upaya untuk presiden dipilih langsung rakyat. Lalu bagaimana dgn MPR? Sebagai konsekuensi
dari perubahan-perubahan yang terjadi maka tentu pihak legislatifnya tidak bisa satu kamar
saja. Itu kan sisa-sisa dari negara komunis atau negara otoriter, sistem parlementer yang
satu kamar saja. Karena itu kita kembalikan MPR kepada fungsi menjadi, katakanlah lembaga
tinggi atau majelis tinggi, ya tetap namanya MPR, sedangkan DPR menjadi majelis rendah
tetap namanya DPR.
Kalau di Inggris namanya House of Commons untuk
majelis rendah dan House of Lords untuk majelis tinggi. Di Amerika namanya House of
Representatif untuk majelis rendah, dan Senate untuk majelis tinggi. Demikian seterusnya
di mana-mana kita lihat. Kalu ini terjadi maka perubahan terbesar akan terjadi pada MPR.
Kalau kepresidenan hanya pemilihan saja. Tidak boleh lagi anggota DPR diangkat menjadi
anggota MPR. Anggota MPR dipilih seperti halnya orang lain. Segala macam
perundang-undangan, tentu dengan perkecualian-perkecualian, harus diputuskan oleh kedua
pihak. Diputuskan oleh majelis rendah, kemudian dibawa ke majelis tinggi. Diundangkan
dalam waktu dua minggu oleh pihak eksekutif.
Oleh karena itu untuk langkah pertama tentu saya
mengusulkan adanya perubahan cara dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Pada pemilu
yang akan datang pemilihan pemilihan gubernur juga langsung, pemilihan bupati dan walikota
juga langsung. Dengan kata lain, pada akhirnya nanti pemilihan-pemilihan itu juga berarti
memilih tiga pihak, satu presiden dan wakil presiden untuk tingkat pusat, kemudian
gubernur untuk daerah tingkat dua, dan bupati atau walikota untuk daerah tingkat dua. Nah
ini saya usulkan karena saya melihat adanya anomali-anomali di dalam batang tubuh UUD kita
yang sifatnya memang sementara. Saya tidak menyalahkan. Yang saya salahkan itu adalah
sikap pendapat seperti Prof Dr Soepomo itu dijadikan sesuatu yang baku. Yang sebenarnya
tidak baku karena sementara saja. Coba perhatikan pidato-pidato Bung Karno mengenai
lahirnya Pancasila, jelas di sana bahwa ini semua adalah kompromistik. Nah kompromi ini
ada yang dapat dilestarikan, ada yang hanya dapat dilestarikan dengan paksaan, seperti
yang kita jalani selama ini. Tentunya tidak bisa negara ini kita jalani hanya paksaan
terus menerus. Pikiran seperti pikiran saya ini banyak diikuti oleh kalangan yang sangat
luas. Kalau ini diingkari ya, nanti diajukan lagi. Begitulah namanya perjuangan. Diajukan
lagi pada waktu menjelang pemilu yang akan datang. Jadi karena itu, perjuangan tidak
pernah berhenti, terus menerus, kita harus berjuang dari sekarang. Apakah sikap kita lalu
memusuhi orang lain yang berpikiran lain? Tidak. Kalau ada yang menganggap saya memusuhi
orang lain itu anggapan salah sama sekali. Bahkan orang paling berdosa sekalipun setelah
terbukti kesalahannya ya saya ampuni, sebagai presiden, kalau kita ingin menghargai negara
ini. Oleh karenanya, tidak pernah punya tujuan-tujuan pribadi, tetapi karena alasan
kenegaraan yang bersifat rasional. Itu saja, pikiran-pikiran ini dapat dilawan dengan
mengatakan bukan waktunya atau belum saatnya dan sebagainya. Tapi itu semua tidak
rasional. Ya namanya saja belum saatnya. Pada saatnya ya akan berubah. Kita lihat saja,
apakah para anggota MPR kita yang terhormat sudah berpikir sama ataukah berpikir sempit
seperti yang ada sekarang yaitu sangat legal-ormalistik membela ketentuan-ketentuan yang
ada. Di MPR-lah terletak kewajiban agar supaya pemerintahan kita demokratis, dan tidak
bisa demokrasi ditegakkan dengan sungguh-sungguh apabila kita masih bersifat munafik. Ini
kata-kata yang keras, tapi saya pikir perlu saya ucapkan. Perlu kita sadari bahwa pantas
selama ini kita memperoleh pemerintahan yang tidak karu-karuan, karena memang kita mau.
Yaitu perkembangan yang harius kita jalani. Negara-negara lain sama juga tidak hanya kita
saja. Kita membiarkan kedholiman merajalela apa bukan sikap munafik. Selama
beratahun-tahun. Oleh karena itu saya rasa baiknya kita kembali membenahi UUD kita, asal
dengan catatan sesuai dengan keputusan DPR tidak mengubek-ubek pembukaan undang-undang.
Pembukaan ini sesungguhnya adalah kesepakatan kita bersama yang sangat sederhana, yaitu
satu, kemerdekaan kita capai, dengan itu kita ingin mencerdaskan kehidaupan bangsa. Nah
proses mencerdasakan kehidupan bangsa tidak bisa tanpa perdamamaian dunia yang abadi. Nah
perdamaian dunia ini hanya dapat diwujudkan apabila kita adil dan makmur. Bersikap adail
dan berada dalam kemakmuran. Sederhana sekali jalan pikiran pembukaan UUD tapi kata orang
bahasa jawanya nages, tegas. Kalau kita menyimpang dari ini, ya sudah kita sudah mengambil
sesuatu yang lain dari cara hidup kita selama ini. Begitulah kita membenahi apa yang ada
pada diri kita secara berangsur-angsur dan saya mengusulkan adanya pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat, dan wakil presidennya, dalam rangka menegakkan kembali
kehidupan demokrasi yang ada dalam kehidupan kita. Asslamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
(Transkrip: ys) |