Sederhana,
Syahdu
Oleh Abdurrahman Wahid
Bangunan berbentuk segi delapan itu tidaklah tinggi. Tidak pula berukuran besar. Paling
tinggi sepuluh meter. Garis tengah penampangnya tidak lebih dari duapuluh lima meter.
Dikitari halaman rumput biasa tanpa taman, dindingnya terbuat dari batu bata merah tanpa
plester kapur (apalagi dengan hiasan rural atau bas relief ) tidak ada
tanda-tanda kemegahan apa pun di pasang di luar.
Pada tengah atapnya ada atrium yang menjadi jalan masuknya cahaya matahari
kedalam ruangan.cahaya itu kemudian disangga oleh sebuah reflektor penyangga yang
digantungkan pada dasar atap dan bagian atas dinding dalam ruangan utama. Pantulan cahaya
yang didapat adalah sinar lembut yang tidak membuat mata silau.
Ruang dalamnya terbagi dua. Beberapa buah ruang samping
mengitari ruang utama di dalam seperti cincin mengitari penampang ibu jari.
Semua ruang samping itu mempunyai pintu masuk langsung ke ruang utama itu
.Ruang utama, sebagai tempat pagelaran bergaris tengah tidak lebih dari 15 meter, sama
sekali tidak berhiaskan ornamen apa pun. Tidak ada lukisan pada ke delapan dindingnya,
tidak ada struktur apapun di lantai yang ada hanya dinding telanjang, mengitari lantai
yang telanjang pula, disinari keredupan cahaya lembut yang datang dari luar. Kapel Rothko
ini memang unik. Didirikan oleh jutawan de Menil, ia merupakan perlambang kerohanian yang
sangat pekat. Benar serba sederhana, tetapi ia adalah ekspresi
yang penuh keterlibatan jiwa dari pemahat Amerika yang terkemuka, mendiang Rothko.
Tidak sebagaimana berbagai bangunan antar agama (interdenominational
buildings) lainnya, Kapel Rothko di Houston (Texas) ini sama sekali bebas dari
afiliasi kepada agama manapun. Kalau Katedral Nasional di Washington masih
berbau Kristen karena bentuk Gotiknya dan Kapel Wayside di Sydney masih
menggunakan altar, maka Kapel Rothko ini justru tidak ada kaitan fisiknya sama sekali
dengan tempat peribadatan mana pun.
Alat peribadatan tidak ada terpasang permanen dalam ruangan
utama, sehingga semua harus membawa sendiri ke dalam ruangan itu untuk dipergunakan,
dengan menggunakan cara bongkar pasang. Kalau orang Katholik ingin menggunakan untuk misa,
mereka membawa sendiri altar mereka. Orang muslim boleh menghamparkan tikar sembahyang
mereka dan menghadapkannya ke arah kiblat di tenggara.
Bermacam-macam upacara keagamaan dapat dilakukan di kapel yang sudah
berusia tujuh tahun ini. Dom Helder Camera, itu uskup agung penentang rezim fasis di
Brasilia sekarang pernah menyelenggarakan misa spontan - sudah tentu dengan himbauan yang
mengharukan akan nasib mereka yang miskin dan tertindas di negaranya. Beberapa orang Swami
dari India pernah mengadakan meditasi dan peragaan Yoga. Kelompok Yahudi pernah merayakan
upacara keagamaan mereka di tempat ini, sedangkan kelompok Sufi Turki Mevleviah yang
terkenal dengan sebutan The Whirling Dervishes (darwys: berputar) - karena
tari-tarian keagamaan mereka dikala mencapai ekstase
-pernah melakukan peragaan. Sebuah foto menunjukkan ada pula sembahyang berjamaah kaum
muslimin diselenggarakan di Kapel ini, demikian pula meditasi kaum Sufi California
beberapa waktu sebelum kunjungan penulis. Semuanya tentu terpukau dengan kesyahduan yang
meliputi ruangan pagelaran serba sederhana dari Kapel Rothko ini.
Ditengah hiruk pikuk kegiatan kota modern Houston, yang menjadi pusat
bisnis dan industri minyak bumi Amerika Serikat memang unik sekali peranan kapel yang satu
ini. Ia bukanlah gereja Nasrani, bukan Sinagog Yahudi. Menjadi masjid tidak memenuhi
persyaratan, bukan pula kelenteng Cina atau kuil apa pun. Ditangani sehari-hari oleh
seorang wanita muslim dari Libanon, Nabilah Drooby, ia adalah tempat persingahan dalam
perjalanam spritual bagi mereka yang membutuhkan atau tertarik. Kalau mereka beribadat di
situ, mereka bebas melakukannya, tidak lebih dari itu.
Tetapi perannya ternyata tidak terhenti hanya disitu. Di kolam depan pintu
masuk ada tugu somplak (broken obelisk) yang dipersembahkan
kepada kenangan Martin Luther King Jr. Itu pemimpin agama berkulit hitam yang
menjadi perlambang perjuangan Kristen untuk menegakkan persamaan hak bagi warga masyarakat
yang berbeda warna kulit.
Di kantor Yayasan Kapel Rothko, sebuah
bangunan bersebelahan
dengan kapelnya sendiri, berbagai kegiatan kontemplatif dilakukan. Di bawah dewan
pembina yang beranggotakan orang-orang Katolik, Kristen, Muslim dan Yahudi, yayasan ini
menyelenggarakan berbagai forum serius untuk menggali pola interaksi kehidupan rohani
berbagai agama dengan kehidupan.
Aktivitas harian yayasan ini, seperti madame Drooby, dibantu staf
administratif dan seorang ilmiawan wanita dari Romania. Staf itu
semuanya terdiri dari wanita, dan kini tengah mempersiapkan Coloquium tentang
spiritualitas dan keadilan sosial dalam Islam
Siapa bilang Kapel Rothko ini tidak melakukan sesuatu yang besar, hanya
karena secara lahiriah ia menyediakan tempat beribadah yang sangat sederhana? Bukankah
justru kesederhanaan itu, ditambah fungsi jangka panjangnya yang vital dalam pemikiran
kontemplatif di bidang keagamaan, yang memunculkan keharuan dan kesyahduan yang diperlukan
manusia modern dalam pergumulannya dengan kehidupan?
(Sumber: TEMPO, 9 Agustus 1980) |