Sadat
dan Islam
Oleh Abdurrahman Wahid
Presiden Mesir Muhammad Anwar Sadat memiliki latar
belakang keagamaan yang kuat. Ia lahir dalam keluarga pimpinan tarekat terbesar di Mesir,
keluarga Al Sadat yang memimpin dunia tarekat selama berabad-abad lamanya.
Dengan sendirinya ia memperoleh dasar-dasar pendidikan
agama yang kuat, walaupun akhirnya ia memilih karir militer. Ia berpangkat mayor sewaktu
turut menggulingkan monarki di tahun 1952 bersama Gamal Abdul Nasser dan kawan-kawan
mereka dari Gerakan Opsir Merdeka.
Sejak itu ia menjadi pejabat tinggi pemerintah tanpa
terputus sama sekali. Mula-mula sebagai calon terkuat setelah Nasser untuk jabatan
presiden republik,dan (karena itu) di kedudukan sekjen
Partai Sosialis Arab, Ketua Majelis Rakyat ( parlemen
Mesir ) dan Wakil Presiden. Setelah itulah baru ia menggantikan Nasser
sebagai presiden, setelah wafatnya tokoh Pan-Arabis yang legendaris itu.
Pengetahuan agama yang cukup dalam itu memberikan
kedudukan unik kepada Sadat : ia jarang menjadi sasaran tentangan agamawan militan, yang
sejak lama sudah begitu benci kepada mendiang Presiden Nasser. Kebiasaan untuk sesekali
menjadi khatib sembahyang Jumat, pidato keagamaan yang mencengkam untuk
membangkitkan semangat rakyat dikala negara menghadapi krisis, dan banyak lagi kegiatan
lain, telah memberikan identitas keagamaan kepada Sadat. Walaupun para
agamawan tidak pernah percaya sepenuhnya kepada Sadat, mereka juga tidak berkonfrontasi
total terhadapnya.
Salah satu faktor utama tentu adalah kemampuannya
melepaskan diri dari keterlibatannya dalam tindak kekerasan mendiang Nasser terhadap gerakan militan Muslim
Brotherhood (
Al Ikhwanul Muslimun ) termasuk hukuman gantung atas diri pemimpin mereka Sayyid
Qutb di tahun-tahun enampuluhan.
Wadah
Baru Orang Ikhwan
Dengan demikian wajarlah ketika Sadat memberikan ruang
gerak kepada kelompok-kelompok muslim militan di Mesir segera setelah ia sendiri menjadi
presiden, selama mereka tidak secara formal menghidupkan kembali gerakan
ikhwan di atas. Harta wakaf Al Azhar dikembalikan lagi kepada lembaga tua itu,
setelah sekian belas tahun dinasionalisasi oleh mendiang Nasser ,
walaupun Sadat masih memasang orang luar dari Universitas Cairo sebagai
teknokrat pengawas untuk memperbaiki pengelolaannya dalam kapasitas sebagai
Menteri Urusan Wakaf. Demikian juga Presiden Sadat sendiri mengetuai panitia peringatan Hari Jadi
Keseribu Al-Azhar, yang direncanakan akan berlangsung lima tahun.
Di permukaan, kebijaksanaan pendekatan
keagamaan itu akan membawakan sukses besar bagi Sadat. Apalagi dalam pergulatannya
yang belum pernah sepi dengan kelompok-kelompok Nasseris yang menolak penyimpangan Sadat
dari dasar politik Nasser. Pendekatan keagamaanlah yang membawakan tunjangan
kaum muslimin militan kepada
Sadat dalam melawan kaum sosialis kafir lawan mereka.
Tetapi ternyata tidak demikian perkembangannya.
Berangkat dari dekatnya Sadat kepada kelompok-kelompok Islam Akhirnya membawa kesulitan
sendiri.
Beberapa tahun yang lalu ia mengizinkan berdirinya
Jamaah Islamiyah (bukan Islam jamaah, tetapi sama ngotot-nya) sebagai
wadah baru orang ikhwan. Pada saat yang sama parlemen dibiarkannya menerima
penerapan ketentuan hukum pidana Islam sebagai bagian dari sistem hukum
nasional.
Segera timbul debat sengit banyak kalangan hukum yang lain, di
luar ahli Hukum Islam. Bagaimana pun juga mereka telah terbiasa dalam tradisi hukum Eropa
kontinental yang diperkenalkan Napoleon sewaktu menduduki Mesir selama dua abad yang lalu.
Untuk mengatasi kemacetan, dibentuk komisi yang
bertugas merumuskan penjabaran proses penerapan ketentuan pidana Islam dalam hukum pidana
nasional yang ada. Peran utama diberikan kepada seorang yang diterima baik di kalangan
hukum nonagama maupun lingkungan Hukum Islam, yaitu Salah Abu Saif. Ternyata ketua komisi
ini tidak mampu mempercepat proses, sebagaimana dikehendaki kaum muslimin militan.
Keadaan ini membuat tuntutan kelompok militan di
kalangan para agamawan muslim menjadi semakin mengeras. Semakin mengerasnya tuntutan tanpa
diimbangi keberhasilan sedikitpun, mau tidak mau akan menjadi bom waktu yang akan
menyulitkan kedudukan Sadat seperti halnya yang terjadi dengan peningkatan
aktifitas gereja Koptik di bawah Patrik Shenouda III.
Dilemanya bagi Sadat adalah: kalau ia menerima
tuntutan kelompok muslim militan, ia harus merombak struktur kemasyarakatan Mesir secara
fundamental, termasuk memberikan pola pembangunan teknokratik yang kini dilaksanakannya:
kalau ia menolak, ia harus membasmi kelompok-kelompok muslim militan itu sebelum menjadi
terlalu kuat.
Apalagi mengingat kelompok-kelompok kiri Nasseris juga
sudah mulai menginfiltrasi dunia keagamaan kaum muslim Mesir dengan sebutan
Islam kiri (yasari dini) . Bekas Jendral Fauzi, bekas wakil presiden Ali Sabri
(saingan yang di babat Sadat dalam bulan Mei 1971, yang kini dijadikan bulan
sucinya dan kawan-kawan) dan banyak lagi tokoh-tokoh sosialis Nasseris sudah
membuka lapangan kerja baru dengan berkhotbah di masjid.
Ternyata Sadat memilih tindakan keras, main babat yang
secara licin dibungkus dengan pemecatan Shnouda III dan pembredelan sebagian
aktivitas gereja Kristen Kopti.
Tetapi ini juga hanya akan merupakan pemecahan
sementara. Karena bagaimanapun juga, akhirnya memang Sadat belum berhasil menemukan cara
untuk membuat hubungan permanen atas dasar saling menghormati bukannya saling
mempergunakan dengan kelompok-kelompok Islam semuanya, bukan hanya yang militan
saja
(Sumber: TEMPO, 3 Oktober 1981) |