Kasus
Terjemahan H. B. Jassin
Oleh
Abdurrahman Wahid
Akhirnya, terjemahan Al Qur'an yang dilakukan H.B Jassin jadi juga
terbit cetakan keduanya."Bacaan Mulia", penerbit
Yayasan 23 januari 1942,
Jakarta, 1982, xxxviii +891 halaman.
Cetakan
kedua itu terbit di sekitar hari ulang tahun Jassin yang ke-65, menjadi
semacam hadiah ulang tahun baginya. Mungkin sebagai persiapan memasuki 'masa
pensiun' - walaupun dalam kenyataan tidak akan pernah ada masa seperti
itu bagi orang seperti penerjemah yang satu ini.
Tentu
saja suara yang menentang dan tidak menyetujui kerja Jassin itu juga
akan berkumandang lagi. Walaupun mungkin tidak akan seramai dulu.
Argumentasi demi argumentasi akan dilancarkan, mungkin sebagian besar
pengulangan apa yang telah dilontarkan di masa lalu.
Tetapi
masih belum jelas apakah akan mampu semua serangan atas 'Bacaan Mulia'
itu menahan beredarnya karya terjemahan itu di tengah-tengah masyarakat.
Yang
menarik perhatian dalam kasus ini adalah konteksnya: penolakan
lembaga-lembaga agama yang telah mapan atas dasar alasan keagamaan yang
bersifat formal, ternyata tidak mampu menghentikan beredarnya sebuah
karya yang dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai 'karya agama'.
Dengan kata lain, sesuatu yang secara keagamaan formal dinilai 'mbeling',
ternyata dapat merebut hati masyarakat.
Adapun
keberadaan yang diajukan terhadap terjemahan Jassin itu menyangkut
hal-hal yang prinsipiil, dipandang dari sudut ajaran Islam.
Secara
umum, serangan dan keberatan dapat dibagi dua. Pertama serangan yang
meragukan kompetensi Jassin sebagai penerjemah. Khususnya menyangkut
kemampuannya memahami Al Qur'an yang diturunkan dalam bahasa Arab
Klassik. Jika kemampuan itu tak cukup sahkah hasil terjemahannya sebagai
sesuatu yang secara formal tidak - dididik untuk menguasai ilmu-ilmu
pengetahuan agama Islam, melakukan kerja penerjemahan kitab suci Al
Qur'an?
Di
sini masuk pula sejumlah tuduhan yang menolak kepatutan moral (moral
fitness) Jassin
pribadi untuk melakukan 'kerja keagamaan' tersebut.
Tadinya
diharapkan akan terjadi perdebatan terbuka. Sejumlah forum yang akan
melakukan dialog seperti itu bahkan telah dipersiapkan. Bahkan penulis
kolom inipun pernah diminta oleh Koordinator Dakwah Islamiyah (KODI) DKI
Jakarta Raya untuk mempersiapkan sebuah makalah tentang masalah di atas.
Sayang, semua harapan itu tidak terpenuhi sama sekali.
Sebab
pertama adalah karena tidak adanya perkenan dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama, lembaga pemerintahan yang diserahi menyelesaikan
masalah penerjemahan Al Qur'an oleh Jassin itu. Alasan yang
dibisik-bisikan ialah: kasus ini terlalu sensitif, bisa menimbulkan
‘gejolak di masyarakat'.
Masalahnya
lalu diserahkan kepada sebuah team peneliti, tanpa diketahui apa yang
diperdebatkan di dalamnya.
Padahal
masalah yang dipersoalkan sebenarnya menyangkut
sejumlah hal yang sangat menarik untuk diketahui kejelasannya.
Misalnya, bagaimana sesuatu yang indah secara manusiawi harus dihadapkan
kepada sikap formal agama? Apakah persyaratan formal
yang harus dimiliki seorang penerjemah Al Qur'an menentukan
keabsahan setiap karya terjemahan.
Kitab Suci itu? Dapatkah dilakukan terjemahan tidak langsung
atas Al Qur'an tanpa penguasaan mendalam atas bahasa Arab? Adakah
pengaruh moralitas dan perilaku pribadi seseorang penerjemah terhadap
sah tidaknya karyanya - terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan yang
dilancarkan terhadap Jassin?
Sayang,
lepaslah sudah peluang untuk memahami hal-hal tersebut secara mendalam.
Padahal secara keseluruhan hal-hal itu dapat juga ditelusuri adanya
dalam banyak 'kasus-kasus' lain di bidang keagamaan. Sebagaimana setiap
kasus yang dipecahkan secara institusional belaka, tanpa perhatian cukup
kepada aspek intelektualnya, penanganan 'di bawah tangan' atau 'Bacaan
Mulia'-nya H.B.Jassin sebenarnya hanya menunda persoalan belaka.
Kemudian
hari, toh masih akan ada orang melakukan kerja penerjemahan Al Qur'an,
bukan?
(Sumber:
TEMPO, 21 Agustus 1982)
|