Jangan Paksakan
Paradigma Luar tehadap Agama
Oleh
Abdurrahman Wahid
Seringkali dipersoalkan bahwa di satu pihak agama dapat membebaskan
manusia dari atu himpitan struktural tertentu, tetapi di pihak lain
agama sering tidak mampu melakukan hal itu.
Kita harus meninjau bahwa agama memang mempunyai dampak
pembebasan. Hanya saja proses pembebasan itu berlangsung lambat dan
jangkauannya jauh sekali. Dalam hal ini kita seringkali tergoda oleh
paradigma-paradigma di luar agama dengan menuntut sesuatu yang lain dari
irama agama itu sendiri. Ini yang sering menjaid masalah. Misalnya, ada
kekecewaan terhadappembaharuan yang dibawakan Abduh, karena ternyata dia
dinilai borjuistis. Meletakkan Abduh dalam rangka borjuistis itu sudah
merupakan suatu kesalahan, sebab dengan begitu kita meletakkan paradigma
borjuisme kepada orang yang tidak mengerti apa itu borjuisme. Pada waktu
Abduh hidup, pikiran-pikiran Marx belum berkembang secara diferensial
antara Marxisme sebagai ideologi politik dan sebagai alat analisa
sosiologis. Kita seolah-olah harus memaksakan harus memilih salah satu
diantar adua hal tersebut. Ternyata dua-duanya tidak dan kita menjadi
kecewa. Ini suatu kesalahan.
Misalnya
juga di indonesia, kalau kita katakan bahwa para kyai Nahdlatu Ulama (NU)
di pedesaan itu belum bisa berpikir secara struktural. Saya menanyakan
apakah benar dalam situasi sekarang di mana informasi yang diperoleh
sangat terbatas dan berbagai keterbatasan lainnya, kita pantas
menyatakan mereka begitu. Juga kalau kita mengharapkan dari mereka ada
perubahan yang drastis, radikal dan semesta sifatnya. Ini kalau kita
berbicara tentang agama sebagai personifikasi dalam diri ulama atau
elitnya.
Kita
juga tidak bisa meminta agama untuk bersikap. Antara ajaran-ajaran agama
dan elite agama terdapat suatu proses yang dinamis yang menginginkan
adanya perumusan sikap-sikap baru. Saya setuju bahwa ada pola interaksi
antara elite agama dengan ajaaran-ajaran agama. Tetapi apakah
interaksinya sudah begitu jauh, sudah clear?
Saya belum melihat ada hubungan yang simbolik antara keduanya.
Ajaran
paling penting dalam agama adalah tentang Allah. Struktur agama
memperkuat ajaran semula dan ajaran semula pada gilirannya memperkuat
struktur agama, pada saat yang sama ia menjalankan peranan membebaskan
manusia. Ini nampaknya dua langkah yang tidak ada titik singgungnya.,
begitu berbeda. Tetapi kenyataannya begitu itulah fungsinya dalam
sejarah. Dalam gereja Katolik, pada perkembangan semula terjadi “kemacetan”.
Setelah itu terjadi pertengkaran, ada reformasi lalu kontra reformasi.
Tetapi yang jelas sampai sekarang ternyata gereja tetap saja memperkuat
ajaran semula.
Dalam
jangka panjang, antara struktur agama dan ajaran agamasaling memperkuat.
Ini yang namanya formalisme. Islam pun demikian keadaannya, begitu juga
Kristen. Pada mulanya diandaikan pembebasan, tetapi kemudian yang
terjadi adalah proses saling menguatkan natara ajaran dan struktur.
Kita
lihat misalnya, ideologi kesahidan para mullah
di Iran . Apa yang diusahakan Ali Shariati itu hilang semuanya dalam
waktu dua tahun. Yang namanya revolusi itu tidak ada lagi, yang ada
justru penguatan institusi mullah,
institusi republik Islam. Di mana pembembebasannya? Inti pembebasan
adalah jika setiap orang bisa berkembang menurut pola yang dia inginkan.
Kenyataan ini tidak berlaku di sana. Jadi menurut saya riskan sekali
memasang paradigma agma pada paradigma sosial. Kita harus tahu
batasan-batasannya. Janganlah agama dipakai sebagai alternatif terhadap
kekuasaan.
Dlama
proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya
menyediakan “sarana” bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama
yang membuat perubahan itu. Dunia itu berkembang menurut pertimbangan
“dunia”-nya sendiri. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia siap
dipengaruhi, tidak lebih dari itu.Begitu agama mengubah dirinya menjadi
penentu, tidak lagi hanya mempengaruhi tetapi menentukan, maka dia telah
menjadi duniawi. Kalau hal ini yang terjadi, pada gilirannya dia bisa
mengundang sikap represif. Agama menjadi represif, untuk memeprtahankan
dirinya.
Rakyat
di Lapisan Bawah Lebih Arif
Bagaimana
peranan agamawan dalam menggerakkan masyarakat lapisan bawah untuk
mengadakan perubahan sosial? Memang kebetulan ada sejumlah pastor atau
kyai yang mengusahakan proses perubahna masyarakat dari bawah, dan kita
harus belajar dari para agamawan itu. Mereka ini merupakan penjumlahan
dari pengalaman total manusia yang menderita, yang mengalami sendiri
masalah itu.
Selama
ini kita mneganggap bahwa mereka tidak mampu menemukan jawaban atas
masalah-masalah yang menhimpit hidup mereka. Saya justru beranggapan
bukan mereka tidak mampu tetapi sedang dalam proses mencari jawaban.
Dalam hal ini saya setuju dengan Tarzie Vittachi. Di mempersoalkan
mengapa orang heran melihat rakyat yang melarat di Dunia Ketiga ini
tidak mau berdemonstrasi menentang penggunaan bom nuklir, padahal itu
merupak bahaya yang paling gawat bagi manusia. Apakah mereka begitu
terbelenggu sehingga tidak tahu bahaya nuklir itu?Mereka tahu betul
bahaya itu, mereka sadar akan bahaya kemampuan menghancurkan yang luar
biasa dari suatu perang nuklir. Hanya masalahnya, memberikan reaksi yang
langsung berhadapan dengan suatu kompleks industri militer sama saja
menghempaskan diri ke karang.
Saya
melihat bahwa rakyat lapisan bawah yang menderita di berbagai bagian
dunia ini adalah rakyat yang arif, yang sudah punya polanya sendiri
untuk menghadapi berbagai tekanan, baik kemiskinan dan keterbelakangan
maupun belenggu yang sifatnya kultural. Dengan demikian jangan kita
menganggap rakyat sepi dari
kemampuan untuk melaksanakan perubahan total. Mereka tidak
berbicara tentang revolusi, yang bicara soal itu adalh para avant
garde. Bukan pengawal revolusi, melainkan rakyat sendiri yang
mengawal revolusi kalau memang mereka butuhkan revolusi. Tetapi belum
tentu mereka butuhkan revolusi; mereka mempunyai cara-cara penyelesaian
sendiri.
Dalam
soal ini, agamawan tidak bertindak sebagai pengawalrevolusi atau sebagai
pemimpin. Sekali lagi mereka hanya menyediakan sarana.
Kita
melihat apa yang dinamakan mass capitalism (kapitalisme rakyat)
di Amerika, bagaimanapun ada peningkatan standr kehidupan yang baik
walaupun pada waktu yang sama dibuat tamak lalu tergantung pada
sindikat-sindikat uang. Tetapi itu adalah suatu proses untuk membebaskan
diri dalam arti lalu mereka bisa berserikat, mereka lalu bisa menyatakn
pendapat dan terutama mereka lalu bisa mengenal isunya. Alangkah
bodohnya kalau kita menganggap bahwa rakyat kecil dalam suatu sistem
kapitalsi dalam kehidupan di Amerika sebagai tidak tahu penyakiit mereka,
sebagai orang yang terbelenggu tidak bisa lepas. Tidak, itu suatu yang
sangat naif. Berkali-kali terbukti bahwa mereka bisa membebaskan diri,
Martin Luther King adalah contohnya. Walaupun akhirnya mereka dikooptasi
kembali ke dalam sistem, tetapi sistem itu toh mengalami perubahan. Nah,
kita jangan lalu melihat kepada suatu kemungkinan saj, hanya satu garis
liniuer: revolusi. Serahkan pada rakyat proses pembebasan itu,
paradigmanya jangan dari kita. Apalagi kalau paradigmanya itu datang
dari agamawan, sangat berbahaya. Dia mendukung dengan “otoritas sorga”.
Ini hendaknya didampingi oleh kearifan bahwa kita tidak bisa
menghempaskan diri ke karang. Kalau ada orang yang tidak bisa
menghempaskan ke karang lalu mencari hal-hal gradual, dengan cara
katakanlah opprtunistik, ini bukan berarti ia harus dikeluarkan dari
perjuangan, ini bagian dari perjuangan. Kita harus berani mencari kawan
dalam dalam struktur itu sendiri. Ini yang dinamakan pembebasan simultan.
Atau yang sifatnya sangat kultural, evolusioner dan yang kalau dilihat
sepintas lalu seakan-akan tidak ada akhirnya. Tanpa dampingan pihak ini
maka yang terjadi adalah penyusunan tirani baru yang atas nama rakyat,
ia bertindak semena-mena. Tidak ada check and balance. Itu yang
terjadi di Nicaragua dan Kuba tidak ada pembaharuandan susahnya tidak
tahu apa yang diperbuat. Suatu gerakan
pembebasan yang sebenar-benarnya dalah pembebasan yang tanpa
dasar apapun kecuali manusia itu sendiri, jadi sangat eksistensialis.
Keragaman
Aspek
lain yang saya lihat adalah keragaman jawaban agama yang jarang sekali
ditekankan. Tadi kita melihat agama dalam suasana yang ragam, berdialog
dengen ideologi, dengan kekuasaan dan dengan apa saja. Tapi yang kedua
adalah dida;am keberagaman ekstern itu agama juga mempunyain keberagaman
intern. Aspek ini juga bisa kita singgiung secara sambil lalu, kita
hanya beri tekanan kepada spek yang sifatnya pembebasan langsung. Apakah
kita sudah memberikan perhatian penuhdan adil kepada keberagaman itu.
Ini pertanyaan. Kita bisa mengkritik keras lembaga-lembaga agama seperti
DGI, MAWI, atau MUI. Tetapi ini berarti tidak ada toleransi terhadap
kemajemukandi bidang intern. Kita sudah tahu kesuliatan MAWI, kesulitan
DGI, kesulitan MUI, dalam menghadapi keadaan keragaman ekstern yang
besar Kita menuntut terlalu
banyak dari merka. Tapi yang penting disitu apakah kita sudah memberikan
perhatian yang besar. Kalau belum artinya sebelum mengoreksi kekuasaan
kita sduah hantam kawan sendiri. Jadi akhirnya membawa kepada kita satu
masalah bagaimana mengembangkan pola komunsikasi intern dalam
kemajemunkan itu.
Bulan
Maret yang lalu saya pergi ke Peru dan melihat sendiri kerja
kelompok-kelompok yang sduah dimotivisir oleh teologia pembebasan.. Sya
berbicara dengan Guiterez, tokoh “teologia pembebasan” Katolik di
Amerika Selatan. Di satu pihak, dalam suatu wawancara sehubungan dengan
ulangtahun sepuluh tahun teologia pembebasan, ia masih menyatakan bahwa
agama ini harus memberikan jawaban yang radikal. Tapi pada saat yang
sama saya melihat bahwa dia cukup sadar untuk mematangkan diri. Ia
memang masih tetap radikal, tapi dalam keradikalannya ia tahu batasnya
sendiri. Mungkin perlu sekali kita renungkan kearifan seperti itu.
(Sumber:
Prisma, 9
September 1982)
|