Persepsi
Gerakan Islam tentang Kebudayaan: Sebuah Tinjauan Dini tentang
Perkembangannya di Indonesia
Oleh Abdurrahman Wahid
Kebudayaan adalah
bidang yang digarap secara ambivalen oleh gerakan-gerakan Islam di
negeri ini. Di satu pihak, keprihatinan justru dirasakan di bidang ini.
Setelah aspirasi formal di bidang politik mengalami gempuran demi
gempuran hebat, dirasakan bidang kebudayaan sebagai “wilayah
pertahanan” kritis, medan laga yang akan menentukan masa depan Islam
di Indonesia. Keluhan dan peringatan para pemimpin Islam tentang
“bahaya penetrasi kebudayaan Barat” adalah contoh dari keprihatinan
tersebut, yang juga sejak cukup lama sudah terasa di kawasan-kawasan
lain dunia Islam, terutama di Timur Tengah. (Gibb. 1962: 232-4).
Tetapi,
dipihak lain justru sedikit sekali dirumuskan secara institusional
pemikiran-pemikiran tuntas tentang bidang kebudayaan di negeri ini oleh
gerakan-gerakan tersebut. Pendapat resmi mereka sulit dicari, kacuali
pernyataan bahwa warna keagamaan (dalam hal ini Islam) haruslah menjiwai
kebudayaan bangsa. Dari pernyataan-pernyataan seperti itu tampak jelas
bahwa pemikiran tentang kebudayaan belum mencapai perkembangan jauh
dalam lingkungan gerakan-gerakan Islam di sini. Di kawasan-lawasan lain
dunia Islam berbeda sekali keadaannya, seperti dapat dilihat dari produk
pemikiran gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Beberapa
hal dapat diperkirakan menjadi sebab keadaan itu, tetapi yang terpenting
mungkin adalah watak responsi “golongan Islam” di negeri ini
terhadap tantangan modernisasi semenjak lebih seabad yang lampau.
Keragaman sangat tinggi dalam responsi yang diberikan, sehingga tampak
sporadis secara keseluruhan, tidak memungkinkan pengambilan keputusan
formal yang diikuti bersama, dan dengan demikian tidak memunculkan
kebutuhan akan perumusan sebuah sikap bersama terhadap modernisasi.
Dengan demikian keadaan itu membawa kepada langkanya kebutuuhan akan
sebuah “politik kebudayaan” yang jelas dan terpadu. Pendekatan yang
diambil lalu berwatak kultural, bukannya strategis,: kesadaran
“umat” dituntut untuk menghindari pengaruh buruk kebudayaan yang
tidak bernafaskan semangat keagamaan Islam , tanpa adanya konstitusi
yang bertugas khusus menangani dasar-dasar pengembangan sebuah
“kerangka kebudayaan Islam”. Perkembangan kebudayaan yang akan
diberi nama “kebudayaan Islam” lalu berlangsung tanpa ada gambaran
jelas tentang apa yang diinginkan akan tercapai, kecuali patokan umum
bahwa ia tidak akan “melanggar ajaran agama Islam”.
Implikasi
dari hasil perngamatan di atas adalah keharusan menggali bukan dari
keputusan-keputusan formal berbagai gerakan Islam yang terorganisir,
kalau ingin diketahui persepsi mereka tentang kebudayaan, melainkan
dengan melakukan telaahan atas pendangan para pemikir dan pemuka gerakan
yang beraneka ragam corak dan bobotnya. Dengan melakukan inventarisasi
pendapat dan pandangan mereka, akan dibuat proyeksi tentang “persepsi
gerakan Islam” tentang kebudayaan, baik dalam lingkup parsial maupun
global. Sudah tentu tidak dapat dihindari besarnya keragaman pandangan
antara pendapat-pendapat yang dikumpulkan. Walaupun demikian, beberapa
bagian yang sama dari pendapat yang sangat beragam itu sudah cukup untuk
memungkinkan pembuatan persepsi proyektif yang dimaksudkan di atas.
Dapat
dikemukakan sebagai contoh pengertian mereka atas kata “kebudayaan”,
yang memperlihatkan kesamaan dasar. Hamka memandangnya sebagai perpaduan
antara keimanan seseorang dan apa yang dikerjakannya (Hamka &
Saimima, 72-3). Sidi Gazalba memandangnya sebagai “kebulatan konsep
tentang sosial, ekonomi, politik, pengetahuan , teknik, seni, dan
filsafat”. Karenanya, “kalau
masjid menjadi tempat yang hanya didatangi oleh sebagian kecil umat
Islam di sekitarnya, maka yang wujud hanyalah masyarakat orang-orang
Islam, yaitu orang-orangnya Islam karena beragama Islam, tetapi
masyarakatnya bukan Islam karena tidak berkebudayaan Islam dan tidak
mengamalkan cara hidup Islam” (ibid, 181). Menurut Haji Agus salim,
kebudayaan berarti “himpunan segala usaha dan daya upaya yang
dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki
sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan” (Salim, 1954:300).
Jelas dari gambaran
yang mereka berikan bahwa mereka menggunakan pengertian “kultur”
yang berarti totalitas kehidupan manusia dalam konsep mereka tentang
kebudayaan. Yang
sedikit berbeda dalam arti tidak merumuskannya secara jelas adalah
Nurcholis Madjid, yang berbicara tentang keharusan “meninggalkan
gagasan-gagasan tradisional yang dianggap ukhrowi,
walaupun sebenarnya merupakan bagian dari pola-pola kebudayaan belaka”
(Boland, 1971: 222). Kalau Hamka, Gazalba, dan Haji Agus Salim
menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang berpadu dengan agama atau
keimanan, maka Nurcholis Madjid menganggapnya sebagai sesuatu yang
berdiri di luar keimanan agama.
II
Para
pemikir dan pemuka gerakan Islam memiliki pendapat yang hampir bersamaan
tentang tempat kebudayaan dalam kehidupan, yaitu sebagai bagian sangat
menentukan bagi kehidupan masyarakat, melalui berbagai pranata dan
lembaga. Pranata dan lembaga yang tak terbilang itu merupakan
manifestasi dari sebuah kerangka umum kehidupan, yang akan menentukan
corak dan warna kehidupan, arah dan orientasinya, serta lingkup dan
wawasannya. Dengan demikian menuntut pandangan mereka, kesemua prasangka
dan lembaga yang ada dalam sebuah masyarakat adalah subsiten dari sebuah
sistem besar yang bernama kebudayaan. Ekonomi, politik, kesenian, ilmu
pengetahuan, dan seterusnya adalah deretan subsistem yang secara total
membentuk entitas yang baru yang dinamai kebudayaan itu, walaupun pada
dirinya masing-masing adalah sebuah sistem tersendiri yang lengkap
dengan pranata dan kelembagaanya yang kompleks pula.
Adalah
menarik untuk melihat tempat pendidikan dalam “tata istem” di atas.
Pendidikan sekaligus adalah sebuah subsistem bagi kebudayaan dan sistem
tersendiri yang berada di luarnya, yang menunjang pembentukan,
pengembangan, dan pelestarian kebudayaan. Sebagai sebuah subsistem,
pendidikan adalah bagian terpenting dari kebudayaan, berfungsi sebagai
pengarah kebudayaan dan sekaligus mekanisme pewarisan nilai-nilai budaya
sesuatu masyarakat dari satu ke lain generasi. Sebaliknya, sebagai
sebuah sistem tersendiri ia ditunjang oleh kebudayaan untuk membantu
perkembangan hidupmanusia, baik perorangan maupun kelompok, ke arah yang
dikehendaki oleh ajaran islam. Dengan demikian, antara pendidikan dan
kebudayaan terjadi hubungan simbolik – mutualistis. Secara eksplisit
hal ini dinyatakan berulangkali oleh sejumlah pemikir dan budayawan
muslim, suatu hal yang tidak begitu mereka tuntut dari subsistem lainnya
terhadap kebudayaan. Memang Islam menganggap politik memiliki arti
pengarah bagi kebudayaan, apabila ia berfungsi mnciptakan keputusan yang
dapat mengarahkan jalur kegiatan mereka dalam pandangan mereka. Namun
fungsi pengarahan itu tidak lalu menjadikan subsistem politik sebagai
sesuatu yang terlepas dari kebudayaan. Mungkin ini datang dari pandangan
mereka yang cukup unik tentang politik: ia adalah unsur penunjang yang
memiliki moralitas yang harus
ditentukan wawasan dan lingkupnya oleh sebuah sistem lain lagi.
Dalam Islam tidak diakui independensi total bidang politik, dalam
arti diperkenankan mengembangkan nila-nilainya sendiri. Politik adalah
bagian dari moralitas kaum muslimin, karenanya ia harus tunduk pada
sistem yang membentuk cakrawala kehidupan sebuah masyarakat muslim.
Pendidikan dan kebudayaanlah yang justru memiliki peranan pengarahan
bagi politik itu.
Hubungan
simbiotik mutualistis antara pendidikan dan kebudayaan itu tumbuh dari
persepsi Islam yang tersendiri mengenai pendidikan. Baik secara historis
(karena ada landasannya sendiri dalam tradisi kenabian) maupun secara
kultural, Islam menekankan pentingnya arti pendidikan, terutama karena
melalui pendidikanlah berkembang dua hal yang paling diinginkan dalam
pribadi seorang muslim: pemahaman yang benar tentang sendi-sendi
keimanannya, dan moralitas benar (right morality) yang menjadi
pengejawantahan pemahaman benar tersebut. Tekanan pada penumbuhan watak
“serba benar” dari keimanan dan moralitas itu sudah tentu tidak bisa
lain dari pemberian tempat begitu penting kepada pendidikan, sebagai
sesuatu yang secara sistematik memiliki keberadaan di luar kebudayaan.
Dapat
disimpulkan dari hubungan antara kebudayaan dan pendidikan seperti
digambarkan di atas, bahwa para pemikir pemuka gerakan Islam membagi
kerja penumbuhan moralitas dan pemahaman keimanan yang benar itu ke
dalam dua wilayah utama: wilayah konsepsional dalam arti luas di bawah
tanggungjawab sistem kebudayaan dan wilayah penerapan konsepsi itu di
bawah tanggugnjawab sistem pendidikan. Pemberian sarana saling
melengkapi antara kedua sisitem itu dengan sendirinya menunjukkan
perlakuan Islam yang unik atas kedua bidang itu: di satu pihak diberi
keluasan untukberfungsi di luar sistem lainnya, di pihak lain telah
dibatasi ruang geraknya oleh pembagian tersebut.
III
Kesejajaran
dalam hubungan antara kebudayaan dan pendidikan justru tak terlihat
dalam hubungan antar ajaran Islam dan kebudayaan. Kebudayaan dalam
pandangan gerakan Islam sebagaimana diwakili pandangan para pemikir dan
pemukanya, adalah sesuatu yang subordinat kepada kebenaran ajaran agama.
Di sini “kebenaran” berfungsi kebar selaku obyek yang dijadikan
sasaran hidup berbudaya itu sendiri dan sekaligus elemen operasional
yang menjamin keberhasilan pencapaian usaha tersebut. Karena fungsi
kembarnya itu, ajaran agama memiliki kedudukan “superordinat”
terhadap kebudayaan: ia sekaligus menjadi salah satu unsur kebudayaan,
namun juga menjadi penentu watak dan corak kebudayaan yang akan
dikembangkan. Dalam arti inilah para pemikir dan pemuka gerakan Islam
mengajukan rumusan mereka, yaitu “Islam harus menjiwai kebudayaan”.
Fungsi
agama terhadap kebudayaan dengan demikian merupakan gumpalan dua fungsi
lain: fungsi inspiratif bagi kebudayaan dalam arti memberikan kekuatan
pendorong bagi hidup berbudaya, dan fungsi normatif dalam artian
mengatur dan mengarahkan hidup berbudaya itu sendiri ke jalur yang
dibenarkan oelh keimanan seorang muslim. Dalam fungsi inspiratifnya,
Islam menyediakan sejumlah nilai dasar maupun nilai derivatif yang
melandasi deretan subsistem yang membentuk kebudayaan. Nilai-nilai itu
ada yang diserap oleh masing-masing subsistem dalam bentuk abstrak
(seperti kewajiban, elan, dan sumber pemikiran) maupun kongkret
(kelembagaan, moralitas, dan sebagainya).
Pada
titik sebagai sumber inspiratif dan sekaligus batasan normatif dari
ajaran inilah muncul sebuah konsep menyeluruh tentang Islam sebagai Ad-Din
(Agama, huruf besar yang menunjukkan klaim kebenaran yang tunggal bagi
dirinya, yang juga menjadi pengertian kalau digunakan istilah The
Religion of Islam). Islam sebagai sang Agama adalah satu-satunya
kerangka umum kehidupan yang benar, dan oleh karenanya harus
dilaksanakan secara total tanpa adanya aspek yang tertinggal satupun.
Islam sebagai keimanan, hukum agama (Syari’at), dan pola pengembangan
aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup
yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia.
Dalam
totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan, dan
lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola
hubungan antar kaum muslimin dan yang bukan muslim diatur di dalamnya.
Dalam totalitas seperti itu tidak ada perbedaan natara aspek duniawi dan
aspek ukhrawi dari hidup manusia, karena semuanya saling menunjang dalam
geraknya. Dalam keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak
berwawasan keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain
sudah tidak ada perbedaan lagi.
Dalam
fungsi mengikat dan amenjalin keserasian antara semua wilayah kehidupan,
Islam sebagai Ad-Din dengan
sendirinya menolak sekularisme yang masih membeda-bedakan corak kegiatan
masyarakat antara yang “berwarna agama” dan “yang berwarna
duniawi”. Ini berarti penolakan pula atas kebenaran klaim adanya
“kebudayaan” dalam pola kegiatan yang terlepas dari wawasan
keagamaan (dalam hal ini Islam). Kata “kebudayaan” hanya patut
dipakai oleh pola kehidupan yang bersumber pada aspirasi keagamaan
(dalam totaltasnya, yang menyangkut apa yang berada di luar wawasan
sempit keagamaan selama ini) dan mengikuti batasan-batasan normatifnya.
Terlepas
dari variasi sangat beragam dalam perincian persoalan yang
dirumuskannya, pola Islam sebagai Ad-Din
itu adalah pola yang diikuti oleh kebanyakan para pemikir dan pemuka
gerakan Islam di negeri ini, walaupun cukup kuat pula kedudukan mereka
yang mempertanyakan keabsahan eksposisi kebenaran agama secara demikian
itu. Masa depan sajalah yang akan menunjukkan kecenderungan mana yang
benar-benar mewakili persepsi gerakan Islam tentang kebudayaan.
(Makalah
dalam Seminar Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan, LRKN-LIPI,
Jakarta, 13-15 September 1982)
|