Kerudung dan Kesadaran Beragama
Oleh
Abdurrahman Wahid
Kerudung adalah 'pemandangan' biasa di kalangan kaum muslimin
yang taat beragama.Tidak semua wanita muslim dikenal dengan
sebutan muslimat, menggunakannya. Namun porsi pemakainya cukup besar
guna melekatkan predikat 'biasa' di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid
maupun pesta dan upacara, pendeknya ke semua keperluan di luar rumah ,
kerudung selalu di pakai, begitu juga dirumah, kalau sedang ada tamu.
Ada
yang berwarna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah: ada juga
yang polos, hanya pinggirnya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang
memang dipakai menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang
hanya disangkutkan pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata
keseluruh sanggul di 'sasak' lebar-lebar, dengan diameter tidak kurang
dari ban sekuter Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah
tanda krisis identitas: tidak berani meninggalkan identitas diri sebagai
muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.
Tidak
disangka tidak dinyana,penggunaan kerudung
dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang
menentang dan yang mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung
dapat menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal,
tadinya masalah penggunaan kerudung dianggap masalah sepele saja. Yang
masih kuat bertahan pada identitas 'kesantrian' terus memakainya, yang
sudah tidak merasa perlu sudah meninggalkannya. Juga ada peragu yang
menggunakannya di atas bahu sewaktu ada pesta atau upacara.
Apakah
gerangan yang membuat pemakaian kerudung menjadi masalah
peka, padahal sekian lama ia 'dibiarkan' pada keputusan
pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat?
Masalahnya
berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini
, simbol tersebut, yaitu simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan
simbol 'kekampungan' bagi yang tidak mengenakannya, hidup berdampingan
secara damai. Masing-masing berkembang didunianya sendiri, bagaikan
polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan
kompleks. Tidak pernah ada pertentangan terbuka, tidak pernah
didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi
dilokakaryakan atau di seminarkan.
Masalahnya
menjadi berbeda, ketika berkembang
sebuah kesadaran baru di kalangan kaum remaja
muslim. Mereka adalah generasi
yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat
di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah,
ketika seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh merumuskan 'kebenaran
agama' memerintahkan remaja asuhannya untuk memelihara 'aurat'
berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran itu diikuti,
termasuk oleh siswi SMA lalu mengenakan kerudung dilingkungan sekolah.
Sudah tentu ini 'pemandangan' tidak , jauh dari 'kebiasaan'
berseragam sekolah tanpa tutup kepala sama sekali.
Dua
hal 'dilanggar' oleh perbuatan itu. Pertama, 'konsensus' selama
ini, yang juga tidak begitu
didasari dahulu, bahwa kerudung bukanlah pakaian yang 'layak' untuk
siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecenderungan kepada
uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk 'ditegakkan' oleh
lingkungan pendidikan nasional kita. Dari pesuruh sekolah sampai Menteri
P dan K, besar sekali nampaknya kecenderungan untuk menyeragamkan
pandangan sikap dan perilaku 'keluarga besar pendidikan nasional'
Sudah
tentu 'konsensus' dan kecenderungan di atas
segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa siswi SMA yang
menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu. Dapat di terka, senjata utama
yang digunakan pihak pimpinan sekolah
adalah 'pelanggaran disiplin'. Benar saja, atas dalih itu sang siswi itu
dikeluarkan dari sekolahnya.
Pemecatan
dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak 'penegak
disiplin' dan pihak-pihak lain di luar. Berarti dalam kasus-kasus di
mana ada kejelasan bahwa si 'pelanggar disiplin' memang bersalah atas
persetujuan universal semua pihak.
Kesulitannya
adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti
dalam kasus kerudung di Bandung baru-baru ini. Lalu disebutkanlah
hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan
atas diri 'siswi berkerudung' itu. Pelanggaran hak pribadi sang siswi
untuk mengenakan pakaian yang disenanginya, tuduhan pimpinan sekolah
bersikap 'memusuhi Islam' dan lain-lain tuduhn lagi dilemparkan
seenaknya.
Apa
yang dilupakan kebanyakan orang adalah penglihatan global terhadap
masalah kerudung itu. Ia tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya
tuntutan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilaksanakan
secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang
semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan
'sikap Islam' terhadap berbagai masalah, dan keberangan
terhadap apa yang digeneralisasi sebagai 'pandangan-pandangan
sekularistis' di kalangan kaum muslimin sendiri. Kasus kerudung itu
adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum
remaja muslim dewasa ini. Kesadaran itu muncul dari banyak sebab.
Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu
pengetahuan modern , yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan
modal saja, tanpa membawa perubahan mendasar atas tingkat kehidupan
manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya
kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas
peroalan-persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya
adalah juga kekecewaan mereka
terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak
mampu mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan 'pihak luar'
terhadap Islam.
Dapat
di mengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya atas
perilaku para remaja muslim di mana-mana termasuk mereka lalu memelihara
jenggot dan memakai kerudung. Perilaku
seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena
ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan Islam sebagai 'jalan
hidup'. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik seperti itu,
namun dihargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan dan
keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.
Kalau
tidak diperhitungkan 'tindakan disipliner' atas 'pelanggaran gadis
berkerudung' di salah satu SMA di Bandung itu dari sudut kesadaran
beragama ini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka
sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau
memindahkan persoalannya saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul,
dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa
depan kita semua sebagai bangsa.
(Sumber:
TEMPO, 29 Januari 1983)
|