Israel:
Cukupkah Momentumnya?
Oleh
Abdurrahman Wahid
Komisi Kahan yang dibentuk pemerintah Israel untuk menyelidiki
pembantaian para pengungsi Palestaina di Beirut Barat telah
menyelesaikan kerjanya.
Sebuah
tonggak baru dalam kehidupan bangsa Israel telah ditegakkan : kekuasaan
hukum harus diletakkan di atas kekuasaan politik. Sebuah sikap
menjunjung tinggi keadilan dengan segala konsekuensinya telah
dikemukakan, dengan cara yang tidak membawa kepada anarki politik, atau
dengan cara yang tidak menghancurkan sendi-sendi pemerintahan. Bahkan
memperkuat sendi-sendi itu dari kemungkinan dimanipulasikan terlalu jauh
oleh berbagai kecenderungan politk yang ada.
Komisi
pimpinan ketua Mahkamah Agung Yitzak Kahan itu memang membawakan hasil
yang mengejutkan. Perdana Menteri Begin dianggap ‘bersalah sampai
titik tertentu’ walaupun tak ada usul agar ia ditindak. Ariel Sharon,
menteri pertahanan yang ultra keras itu, direkomendasikan agar
‘mengambil kesimpulannya sendiri’ atas kesalahannya yang tidak dapat
ditutup-tutupi lagi dalam kasus pembantaian di kampung Sabra dan Chatila,
Dengan kata lain diminta mengundurkan diri dari jabatannya. Ia
dinyatakan bersalah ‘telah lali melaksanakan tugasnya, yaitu
memperhitungkan kemungkinan kaum Phalangis tahu pembantaian
Tiga
orang ‘aktor langsung’ penyerbuan Israel
ke Lebanon diputuskan telah bersalah juga. Kepala staf tentara
Israel Letjen Rafael Eitan sepenuhnya bersalah, karena lalai
memperhitungkan kemungkinan pembantaian, walaupun telah diberi nasehat
untuk mencegah masuknya kaum
Phalangis ke Sabra dan Chatila, walaupun bahwa pembantaian telah
terjadi .
Direktur
Intelejen Militer Yehoshua Saguy dipersalahkan gagal memberikan nasehat
kepada pimpinan tertinggi tentara Israel untuk mencegah masuknya kaum
Phalangis ke Sabra dan Chatila, walaupun ia menyatakan pendapat
pribadinya bahwa pembantaian akan terjadi kalau hal itu dibiarkan.
Brigjen
Amos Yaron, komandan divisi yang menduduki
daerah Beirut, juga dipersalahkan membiarkan pembantaian terjadi,
walaupun ia tahu bahwa hal itu terjadi.
Yang
menarik dari argumentasi Komosi Kahan, sebagaimana diulas majalah Time
adalah kategori kesalahan Israel itu sendiri : para pemimpin yang
dinyatakan bersalah itu telah bersalah ‘secara tidak langsung’
Menurut
Argumentasi ini, Walaupun kaum Phalangis
(orang Arab ) yang membunuh kaum pengungsi Palestina ( orang Arab
), Israel bertanggung jawab karena itu terjadi diwilayah yang menjadi
tanggung jawab Israel dalam hal keamanan dan ketertibannya. Kita selalu
mengajukan tuntutan serupa jika ada orang Yahudi diperlakukan
keji di tempat lain, yaitu bahwa bukan hanya pelakunya saja yang harus
bertanggung jawab, melainkan pemegang kekuasaaan juga harus bertanggung
jawab. Kita tidak boleh menghindarkan tanggung jawab ini, karena berarti
melemahkan tuntutan peri kemanusiaan kita sendiri terhadap negra-negara
lain uraian Komisi Kahan.
Sudah
bukan rahasia lagi, pemerintahan Begin dan pimpinan militre Israel telah
lama mencoba memandang kehidupan politik negeri ini sedemikian rupa,
sehingga tujuan mereka akan ‘Israel Jaya’ (Erectz Ysrael)
yang menguasai wilayah yang diudukinya (kecuali Libanon)
dapat pengakuan secara de facto, walaupun melanggar
perjanjian dan hukum iternasional mereka sendiri.
Begin
mengumandangkan nostalgia akan ‘bentangan yang ditentukan Perjanjian
Lama untuk bangsa kita’ dari tepian barat Sungai Yordan yang didukinya
sejak 19.. dan Jendral- jendralnya mengajukan pertimbangan ‘kekuasaan
integral Israel’ dari kemungkinan serangan luar, untuk merumuskan
tindakan yang sama.
Tampaknya
kecenderungan merekalah yang akan mewarnai keputusan politik dalam
pergulatan politik
internal Israel, antara keras dan lunak. Diamping tradisi poitik
untuk menjunjung tinggi pertimbangan pihak pimpinan militer dan ….
akan ‘realisasi janji Perjanjian Lama, ada sebuah faktor yang
mendorong bangsa Israel kepada sikap bangsa Israel kepada sikap
memenangkan garis
sulitnya proses perundingan dengan pihak Arab mencapai hasil
konkrit, dan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang tidak berasal
dari Eropa Barat dan Amerika.
Penduduk
Israel yang berdatangan dari Eropa Timur dan negara-negara Asia, disebut
kaum Sephardim, kini merupakn mayoritas bangsa Israel, dan dengan
sendirinya kebencian Arab terhadap apa yang dianggap budaya asing dari
Barat juga mengilhami mereka menolak
usul perdamaian negara-negara barat.
Namun
kesemua kemungkinan akan menangnya garis dalam kehidupan politik Israel
menjadi tidak lagi pasti dengan adanya laporan Komisi Kahan diatas.
Pimpinan militer kehilangan superioritas moralnya. Mereka terbukti
bangkrut total dalam menjaga hal-hal paling dasar bagi kehidupan massa
dengan terjadinya pembantaian itu. Impian Begin juga lalu tampak konyol
di hadapan kenyataan akan semangat Bangsa Palestina untuk menuntut hak
menentukan nasib sendiri.
Seperti
dikatakan pendidik terkeuka dari Israel, Zvi Kesse, dalam wawancaranya
dengan Newsweek: masa depan
Israel ditentukan oleh kemampuannya mencari penyelesaian yang
adil terhadap tuntutan bangsa Palestina. Kitapun, katanya, dahulu
menginginkan keadilan seperti itu. Israel sudah terlalu lama harus hidup
dari nilai-nilai militeristis, yang akan menghancurkan Israel sendiri
sebagai konsekuensi menolak tuntutan bangsa Palestina itu.
Pandangan
waras seperti itu dikemukakan Kesse itu tentu memungkinkan tercapainya
hasil kongkrit dalam perundingan perdamaian untuk menyelesaikan
sengketa Arab-Israel, Lalu
diikuti oleh cukup banyak orang di Israel. Namun, cukuplah
momentum yang diciptakan laporan komisi Kahan itu untuk mendorong bangsa
Israel secara keseluruhan kepada sikap yang terbuka dan menjamin
keamanannya secara kekal, yaitu mengembalikan eksistensi sebuah bangsa
dan negara Palestina?
(Sumber:
TEMPO, 12 Maret 1983)
|