Mikrokosmos
Seorang Masjumi
Oleh
Abdurrahman Wahid
Perawakannya sedang, dengan raut muka halus, kulit
putih bersih dan rambut mulai menipis di bagian depan. Berpakaian
safari suit yang sesuai dengan kendaraan yang dipakainya, sebuah
Toyota Corolla DX, ia tampak sesuai dengan jabatannya selaku manajer
sebuah usaha bisnis patungan dengan penanam modal ‘kecil’ dari salah
satu negara Asia (non-Jepang).
Penampilan
seperti itu diimbangi oleh sikp yang sangat sopan, suara yang tidk
terlalu lantang dan cara berbicara yang selalu merendah. Walhasil
penampilan gabungan antara keapikan dan kesopann Timur dan kewibawaan
eksekutif masa kini.
Karenanya
tidak mengherankan jika penulis terkejut dengan ucapan perkenalannya:
“Saya tidak tidak mempunyai hubungan dengan organisasi keagamaan dan
politik manapun, karena saya pengusaha. Tetapi saya sebenarnya saya
simpati kepada Masjumi.” Sesuatu yang aneh untuk tahun 1983. Ada
sektor moderen dari masyarkat kita
masih menggali akar identitasnya pada gerakan
yang bubar pada masa pemerintahan Orde Lama.
“walaupun
orang awam di bidang agama, karena tidak dididik dalam pengetahuan agama
kebetulan saya
punya nasib baik.” Apa nasib baik itu, dalam pandangannya?
“orang tua saya yang selalu berpindah dari satu kota ke kota lain
karena mengikuti mutasi perusahaan tempatnya bekerja, selalu mendapat
rumah dekat masjid.”kalau demikian mengapakah ia tetap ‘awam’?Karena
saya hanya mengambil fungsi yang paling sederhana. Seperti
menjadi penabuh
bedug dikala senggang”.
Namun,
‘dedikasi’ seperti itulah yang membawanya kepada keyakinan agama dan
penghayatan secara total. “ Agama yang menuntut saya untuk tidak
turut hanyut dalam berbagai hal yang menjadi ekses modernisasi.”
Dan karena itu ia lalu menjadi muslim aktif yang sadar benar
masalah-masalah yang dihadapi agama yang dicintainya itu. Dus, bukan
orang yang benar-benar awam.
“Mengapa
kita kok terlalu jauh tertinggal dari Malaysia, dalam penerapan Syariat
Islam?’ tanyanya
dengan nada separuh menyesali. Diterangkan
kepadanya, bahwa kesadaran beragama dapat mengambil bentuk
bermacam-macam, tidak selalu harus bersifat syaria’at, ia tersenyum.
“Memang,
Pak, yang saya dambakan adalah munculnya teknokrat Muslim yang menguasai
jalannya pemerintahan, tetapi berpandangan luas. Tidak terlalu fanatik
dan berwawasan sempit, Taruhlah seperti Nurcholis Madjid, Ridwan Saidi,
Akbr Tanjung, Abdul Gafur. Bukankah mereka semua orang-orang HMI?’
tanyanya dengan polos, tidak menyadari betapa luasnya spektrum
pandangan (yang mungkin bertolak belakang) antara keempat orang
yang disebutnya. Dilihat dari sudut ini, tampak jelas betapa benar
pengakuannya, bahwa ia orang Masjumi.
Simpati
itu tampak ketika menyinggung golongan lain. “Orang PSI sebenarnya
baik-baik, Pak” - dan di gambarkannya mereka sebagai ‘teman
seperjuangan’. Ini dilanjutkannya dengan pertanyaan tentang
GMNI. “Apa mereka masih sekuler?’ Sebuah pertanyaan yang dalam
konteks ini menjadi tak bisa terjawab sama sekali - kecuali dengan
menyatakan bahwa mereka pun kini menunjukkan simpati besar kepada Islam.
“Saya dari kecil bergulat dengan kehidupan kota besar, di Bandung.
Tetapi dari titik pangkal masjid. Karena itulah saya kagum kepada para
pemimpin Masjumi,”dmikian dijelaskannya.
Namun
jangan dikira orang ini hanya memiliki pandangan sesisi tentang
masalah-masalah kehidupan. Dan diuraikannya artikel tulisan Nathanel
Eliahu, bekas duta besar Israel di Washington, yang memisahkan antara
Islam dan Arab. Panjang lebar dikemukakannya keharusan bagi Israel dan
Palestina untuk bersedia hidup berdampingan dalam dua negara yang
berdampingan.
Ethos
kerja orang Korea, Taiwan, Jepang, dan Singapura, dipujinya. “ Saya
terpengaruh ucapan seorang pengamat, bahwa budaya Sinik memang mempunyai
kekuatan tersendiri. Lihat saja vietnam dan Korea yang mengembangkan
ethos kerja keras begitu tangguh.”dilanjutkannya dengan
bercerita tentang pengusaha-pengusaha ‘Asia Sinik’ yang
selalu sederhana dan tidak mudah bermewah-mewah, dan lain-lain sifat
terpuji.
Dikontraskannya
hal itu dengan melempemnya bangsa kita sendiri, yang lemah dalam segala
hal. “Malaysia masih mending, Pak.Masih ada pemerintahan bersih. Clean
Goverment yang saya bahagia melihatnya, karena dilakukan
oleh orang Muslim patuh. Seperti datuk Mahathir, juga yang
lainya.”Ketika dikemukakan bahwa pemerintahan bersih di Malaysia
adalah warisan Inggris, dan dilakukan juga oleh pejabat-pejabat
China dan India yan beragama lain, ia tampak tidak begitu terpengaruh.
Pokoknya ada orang Muslim memerintah secara bersih, sudah memuaskan
baginya.
Bicara
kian-kemari selama hampir satu jam, tampaknya jelas pandangan hidupnya
sangat kosmopolitan, dalam arti tanggap terhadap kebutuhan dunia masa
kini dan mampu menerima kehadiran orang-orang berpandangan lain.
Liku-liku dunia usaha, yang menjadi perhatian utamanya, digambarkan
secara jelas, menunjukkan kemampuan dirinya untuk menceburkan diri dalam
percaturan dan persaingan sengit dengan orang lain.
‘Kemasjumian’nya
adalah bagian dari keutuhan dirinya.Dan dengan modal itu
ia berkecimpung dalam kehidupan moderen tanpa harus larut dalam
suasana yang tidak jelas. Baginya jelas mana yang menjadi batas antara
tuntutan dunia yan harus dipenuhinya dan mana yang menjadi ‘wilayah
kehidupan beragama’ yang utuh dan dinamis. Ada semacam proses
tolak-angsur, keadaan memberi dan menerima, yang dijalaninya dalam
kehidupan pribadinya maupun dalam profesi.
Ini
ternyata dari ‘misi’ yang dibawanya kepada penulis: minta
pertimbangan, ke pesantren mana sebaiknya dikirimkan anaknya yang baru
tamat SMP. “Saya ingin anak saya sukses dalam hidup. Namun lebih dari
itu, saya
ingin ia mampu mengembangkan akhlak yang baik dalam hidupnya.”
Sebuah
sikap tuntas yang mengagumkan juga. Bukankah ia sudah tahu kejamnya
persaingan hidup di masa kini, apalagi dimasa depan? Mengapa ia tidak
lalu menempatkan anaknya Di SMA faforit, seperti umumnya elite politik,
budaya dan ekonomi kita saat ini? Tidakkah ia tahu betapa resiko
mengirimkan anak ke pesantren, dengan kemungkinan sangat besar sang anak
tidak dapat mencapai apa yang diraihnya sendiri saat ini?
Mikrokosmosnya
ternyata masih berorientasi pada keyakinan agama, betapa jauhnya
sekalipun hidup telah menghanyutkan kegiatannya. Tetap tekun menjalankan
perintah agama sedapat mungkin, tetap yakin bahwa moralitas lebih
penting dari sukses material, dan merasa
bahwa dengan pola kehidupan seperti itu ia tetap mampu merengkuh
modernitas dalam arti penuh.
Prototip
tulen seorang Masjumi. Dan ‘seni’nya adalah ketika ia menyatakan
kepada lawan bicaranya yang NU akan affiliasinya itu: “Maaf, Pak, saya
sebenarnya orang Masjumi, tetapi merasa perlu konsultasi dengan Bapak”.
(Sumber:
TEMPO, 30 Juli 1983)
|