Tradisi, Kebudayaan
Moderen, dan Birokratisasi
Oleh Abdurrahman Wahid
Sudah lebih dari 50
tahun yang lalu Polemik Kebudayaan berlangsung, tapi masih juga di pertentangkan antara
tradisi dan kebudayaan moderen. Sutan Takdir Alisjahbana masih juga menggebu-gebu dalam
hal itu, dan lawan polemiknya dahulu juga masih tetap pada persoalan yang sama. Mereka
masih ada yang menolak kebudayaan moderen, dan tetap mengagung-agungkan masa lampau Sriwijaya,
Majapahit, dan
Mataram sebagai ukuran baku kebesaran masa lampau bangsa kita.
Yang mengherankan, perdebatan itu terjadi tanpa satu
pun yang mencoba melakukan proyeksi substansi yan mereka pertikaikan pada kenyataan
lapangan yang sama sekali berbeda. Baik mereka yang mempromosikn modernisasi maupun yang
menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinjak pada kenyataan yang berkembang. Dialog
seperti itu terasa tragis. Di satu pihak, kita menghabiskan energi dan waktu untuk
berdebat hanya
pada masalah dasar belaka. Tidak pernah beranjak ke tingkat lebih kongkret, seperti
menyimak operasionalisasi nilai-nilai tradisional kepada lahan kehidupan yang dituntut
untuk serba moderen. Di pihak lain, perkembangan keadaan berjalan terus tanpa
mahu tahu apa yang diributkan pendukung modernitas dan pecinta tradisionalisasi.
Dalam kenyataan, perubahan yang terjadi sudah
berlangsung sangat jauh. Aspek-aspek seremonial dari kebudayaan traisional telah
dimodernisasikan dengan jalan dieksploitasikan oleh industri
pariwisata. Pesantren tidak lagi repot dengan hanya kajian rutin acuan kitab
kuning belaka, melainkan menggunakannya sebagai sumber inspiratif untuk modernisasi
hidup pedesaan. Bukan sekedar menjadi lembaga pendidikan agama dalam artian tradisional,
melainkan menjadi pangkalan untuk mendirikan dan melestarikan lembaga swadaya masyarakat
LSM. Dalam fungsi tersebut, banyak pesantren telah memasuki era
kehidupan baru, yaitu sebagai lembaga pengembangan swadaya masyarakat. (LPSM).
Demikian pula, apa yang dinamai kebudayaan modern telah
menyadari pentingnya integrasi organik antara nilai-nilai lama dan visi budaya yang baru.
Dengan cara meraba-raba, melalui berbagai kesalahan dan uji coba, sebuah proses
kontekstualisasi visi budaya kita sedang berlangsung. Masalah pokoknya bukan lagi seperti
rasionalitas haruskah diterima
atau tidak, melainkan bagaimana ia dipergunakan untuk mendorong munculnya kreativitas dari
tradisi. Tantangannya adalah bagaimana mencegah rutinisasi kehidupan budaya kita.
Namun, sebuah bentuk rutinisasi lain justru yang mulai
melanda kehidupan budaya kita. Rutinisasi dalam bentuk peranan birokrasi pemerintahan yang
semakin hari semakin menentukan. Hingga hari ini memang masih belum menjadi birokratisasi
kebudayaan kita, tetapi sudah cukup untuk membuat pengap suasana kehidupan budaya.
Kreativitas bukan menurun oleh tarik urat antara tradisionalisme dan modernitas budaya,
melainkan oleh meningkatnya peranan birokrasi pemerintahan dalam kehidupan budaya.
Bagaimana memacu kreativitas dalam kelesuan suasana,
itulah masalah utama kita saat ini. Mampukah kita menembus kelesuan itu?
(Sumber: TEMPO, 31 Mei 1986) |