Gus
Dur, Si Politikus Ulung
Oleh:
Moh Mahfud
Berbagai Predikat
Banyak
sebutan atau predikat diletakkan pada Presiden Gus Dur sesuai dengan
pengetahuan dan keahliannya yang memang sangat luas. Predikat-predikat
itu misalnya ulama, seniman, budayawan, wali, politikus, negarawan,
komentator sepakbola dan sebagainya.
Gus
Dur adalah ulama karena selain berdarah biru NU dan keturunan ulama dia
sendiri adalah seorang alim dan menjadi tokoh utama dari Nahdlatul Ulama
pada saat ini. Dia adalah putera sulung dari KH. Wachid Hasyim dan cucu
langsung dua ulama besar pendiri NU yakni Hasyim Asy’ari dan Bisri
Syamsuri. Penguasaannya atas kitab-kitab uatama rujukan NU sangat dalam.
Gus
Dur juga sering disebut sebagai budayawan dan seniman karena pemikiran
dan kiprahnya dalam bidang ini juga cukup dalam sampai-sampai pernah
menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia. Bahkan dalam gerakan
Islam modern di Indonesia Gus Dur sering disebut sebagai tokoh yang
paling otentik dalam gerakan Islam kultural. Gus Dur juga paham tentg
dunia perfilman dari berbagai belahan bumi dan paham atas begitu
banyaknya karya sastra.
Di
kalangan warga nahdliyyin (pengikut NU) banyak juga yang percaya bahwa
Gus Dur adalah wali, yakni orang yang oleh Allah dianugerahi kemampuan
luar biasa dalam melakukan atau menunjukkan hal-hal yang tidak nalar
atau ghaib, seperti mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat jauh,
mengetahui masalah-masalah ghaib yang ada di balik satu fenomena, dan
berperilaku aneh-aneh untuk mengisyaratkan sesuatu. Di kalangan
orang-orang yang percaya atas kewaliannya, Gus Dur selalu dianggap benar.
Semakin Gus Dur mengatakan bahwa dirinya tidak wali maka semakin
percayalah mereka bahwa si Gus adalah wali. Jika Gus Dur berbuat sesuatu
yang benar menurut pandangan umum maka mereka sebut itulah bukti
kewalian Gus Dur, tetapi jika Gus Dur salah maka kata mereka kitalah
yang salah dalam memahami maaksud Gus Dur.
Semua
orang juga tahu bahwa Fus Dur adalah penggila sepakbola. Selain hapal
nama-nama pemain top dunia dan pelatih-pelatihnya dia juga bisa menjadi
komentator yang sangat menarik dari sebuah siaran langsung perebutan
piala dunia yang digelar empat tahun sekali oleh FIFA.
Gus
Dur juga dikenal luas sebagai politikus yang handal karena selain
membuat analisis politik dia adalah pemain politik yang sangat lihai.
Pada suatu saat trik politiknya mampu mengecoh lawan tanpa diduga-duga
untuk kemudian pada saat lain dapat membuat situasi memaksa atau fait
accompli agar politisi lain mendukung dirinya. Namun jika melakukan
kesalahan dengan enteng menyatakan “ya sudah, gitu saja kok
repot-repot.” Lagi-lagi pengikutnya yang percaya semakin yakin bahwa
dia adalah wali.
Presiden
keempat Indonesia ini juga sering disebut sebagai negarawan karena
sikapnya yang sangat terbuka dan mengayomi terhadap seluruh elemen
bangsa. Sebagai pimpinan ormas Islam terbesar yang terkesan ortodoks
yakni NU, Gus Dur justru menunjukkan sikap yang terbuka, progresif, fan
bersahabat dengan tokoh-tokoh gereja. Dialah juga tokoh besar pertama
yang memberi dukungan atas perkawinana penganut Kong Hu Cu di catatan
sipil yang kemudian berlanjut ke PTUN di Surabaya. Dia sendiri
mengatakan tidak ingin menjadi presiden dan lebih suka menjadi “guru
bangsa”.
Politikus Ulung
Kecuali
soal wali tampaknya berbagai predikat tersebut tidak terlalu berlebihan
jika diberikan kepada Gus Dur karena Gus Dur
mrmang sangat tinggi kapasitasnya untuk menyandang
predikat-predikat itu. Tetapi yang paling dominan dari semua itu adalah
predikat Gus Dur sebagai politikus. Tak pelak Gus Dur adalah politikus
ulung atau paling hebat di negeri ini. Kapasitasnya dalam berbagai
predikat selain sebagai politikus digunakan oleh Gus Dur untuk
memperkuat manuver-manuvernya sebagai politikus.
Seperti
dikatahui politikus adalah orang yang bermain politik untuk maraih dan
mempertahankan kekuasaan dan selalu berpikir bagaimana agar dirinya
menang dalam berbagai kontes politik. Sifat kenegarawanan yakni sikap
untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara memang ada pada Gus
Dur tetapi sifat itu masih berada di bawah sifatnya sebagai politikus
kelas atas. Bahkan sikap kenegarawanan itu sengaja dibangun untuk
mendukung permainan politiknya. Oleh sebab itu semua tingkah laku,
pernyataan-pernyataan dan kebijakan Gus Dur harus dipahami dalam
kedudukannya sebagai politikus yang sangat sadar akan konfigurasi
pendukung dan penentangnya.
Tumbuhnya
Gus Dur sebagai politikus tidak lepas dari lingkungan keluarga dan
silsilahnya yang memang merupakan politikus-politikus kawakan dari
kalangan gerakan Islam. Dia adalah anak sulung dari Wachid Hasyim yang
dikenal sebagai tokoh NU dan menjadikan NU sebagai partai politik,
melepaskan diri dari Masyumi pada awal tahun 1950-an. Dia juga merupakan
cucu dari dua ulama besar pendiri NU yang aktif berpolitik
sejak zaman penjajahan yakni Hasyim Asy’ari dan Bisri Syamsuri. Sangat
boleh jadi bibit, pengenalan, dan minat Gus Dur atas politik telah
tumbuh sejak usia masih sangat belia melalui penglihatan dari dekat atas
aktivitas ayah, ibu, dan kakeknya dalam politik serta hubungan mereka
dengan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan
sebagainya.
Sebagai
politikus yang tampaknya telah lama mempersiapkan diri untuk tampil
sebagai aktor politik yang besar maka Gus Dur telah menyadari bahwa
untuk bisa tampil dengan mulus dalam pentas perpolitikan nasional di
Indonesia haruslah membangun kesan dan jaringan secara lintas
ikatan-ikatan primordial dan lintas aliran-aliran politik. Gus Dur tahu
bahwa kesan eksklusif atas diri dan kelompoknya harsu dihindari, sebab
jika itu terjadi akan sulit mendapat dukungan luas di negara yang sangat
pluralistik ini. Dia menyadari bahwa sikap-sikap eksklusif dalam dunia
perpolitikan di Indonesia tidak akan memberi hasil maksimal bagi
perjuanagan politik, sekalipun eksklusivitas ini memiliki pengikut besar
seperti besarnya (jumlah) umat Islam yang dipimpinnya di Indonesia.
Posisi ekstrem dalam aliran politik dilihat oleh Gus Dur tidak hanya
akan menyulitkan dirinya untuk menjadi pemenang dalam permainan politik.
Baik ekstremitas nasional sekuler maupun ekstremitas nasionalis Islami
akan sulit bisa tampil menjadi pemain politik utama. Sikap menerima dan
mengayomi ke dua aliran akan lebih menjamin untuk mulus dalam kontestasi
politik.
Itulah
sebabnya sejak awal Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh NU dengan
berbasis Islam tradisional telah melakukan terobosan secara berani
dengan melakukan hal-hal yang agak “aneh” bagi kalangan umat Islam
sendiri. Gus Dur misalnya membuat pernyataan yang melawan arus umat
ketika mengatakan bahwa hukum Islam tidak bisa menjadi hukum negara (atau
undang-undang) ketika umat Islam justru sedang memperjuangkan lahirnya
UU tentang Peradilan Agama. Dia juga menyatakan dengan enteng bahwa
sapaan assalamu’alaikum
tidak beda dengan sapaan selamat pagi atau selamat sore justru di tengah
kenyataan bahwa umat Islam sedang sangat senang dengan penggunaan
assalamu’alaikum di berbagai pertemuan resmi berbagai instansi. Gus
Dur juga dapat disebut sebagai orang pertama yang keluar masuk gereja
dan menjalin hubungan akrab dengan tokoh-tokoh agama lain. Di kalangat
umatnya sendiri banyak keluahan kepada Gus Dur karena jika ada konflik
antara umat Islam dengan umat lain Gus Dur tidak
pernah membela umatnya. Saya kira piliha sikap seperti ini diambil
dengan sadar karena dia yakin sikap Gus Dur itu tidak akan terlalu
membahayakan atau merugikan umat, karena Gus Dur tahu akan muncul
pembela-pembela umat selain dirinya. Sebagai politikus mungkin dia
berpura-pura saja membiarkan umatnya karena dia tahu bahwa banyak
pemimpin umat lainnya yang pasti membela. Untuk memperkuat
akseptabilitas atas berbagai golongan di Indonesia selain berani
mengambil posisi berseberangan dengan tokoh khsrismati NU, As’ad
Syamsul Arifin, Gus Dur juga mencela sikap berlebihan sementara kaum
muslimin yang begitu bersemangat membela Islam dangan mengatakan bahwa
“Tuhan tidak perlu dibela”.
Ketika Pak Harto dijauhi oleh tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan Pak
Harto setelah lengser dari jabatannya, Gus Dur justru mengunjungi mantan
presiden itu, karena Gus Dur tahu bahwa pendukung-pndukung Pak Harto
masih banyak. Untuk menjadi presiden akan lebih mudah bagi Gus Dur jika
tidak di hambat oleh pengikut-pengikut Pak Harto yang diyakini masih
kuat. Jadi sikap Gus Dur itu tidak semata-mata dapat dipahami sebagai
sikap seorang kyai yang mudah memaafkan melainkan sebagai strategi untuk
pemilihan presiden di mana dia akan bertarung melawan kandidat-kandidat
lain.
Itu
semua dilakukan oleh Gus Dur untuk membangaun citra diri sebagai orang
yang tidak berbahaya bagi kelompok manapun sehingga, dengan citra
inklusif itu mudah baginya untuk diterima sebagai pemimpin. Dengan
demikian Gus Dur telah bekerja keras dan lama untuk merebut posisi
politik tertinggi di negeri ini. Dan kiita melihat puncak keberhasilan
perjuangan politik Gus Dur itu pada bulan Oktober tahun 1999 ketika
benar-benar menjadi orang nomor satu di Indonesia. Itu harus dicatat
sebagai hasil perjuangan politik seorang politikus yang bernama Gus Dur,
buka sebagai produk kewalian atau sikap kenegarawanan.
Karena
impian atau oriebtasi Gus Dur pada dasarnya adalah politik maka meskipun
sikap-sikap keluarnya selalu meneriakkan demokrasi dan keterbukaan,
bahkan mendirikan dan memimpin Forum Demokrasi (Fordem), tetapi ke dalam
kalangan NU sendiri dia bukanlah orang yang benar-benar demokratis. Di
kalangan teman-teman NU diketahui bahwa hanya mereka yang mau tunduk dan
selalu mengamini Gus Dur sajalah yang akan
dibaiki oleh Gus Dur sedangkan yang kritis terhadapnya dicemberuti.
Dalam pembentukan pengurus PKB ketika paratai berbasis nahdliyyin
itu dibentuk pada tahun 1998 Gus Dur pula yang secara ngotot menentukan
pimpinannya meskipun banyak ulama NU yang menghendaki nama-nama lain.
Begitu
juga sikap-sikapnya yang inklusif dapat sewaktu-waktu menjadi eksklusif
jika itu diperlukan untuk menaikkan posisi tawarnya dalam pertarungan
politik. Maka tidak heran ketika usai pemilu 1999 banyak orang dibuat
bingung sebab setelah cukup lama menyatakan mendukung Megawati sebagai
calon presiden dalam sebuah diskusi di Singapura secara tiba-tiba Gus
Dur mengatakan bahwa Megawati tidak bisa menjadi Presiden Indonesia
karena sebagian besar orang Islam masih mengikuti pendapat bahwa
perempuan tidak boleh menjadi presiden. Pernyataan itu memang normatif
dan sesuai dengan realitas, tetapi bagaimanapun pernyataan itu
bertendensi menaikkan posisi tawar dirinya sendiri. Di saat lain dia
mengatakan bahwa Megawati itu “bodoh tetapi jujur”. Ketika bursa
calon presiden paada SU_MPR tahun 1999 sedang panas-panasnya dalam acara
santap malam bersama Amien Rais di sebuah restoran Gus Dur menyatakan
bahwa siapapun yang akan mengahlang-halangi gerakan Islam akan
berhadapan dengan dirinya, suatu pernyataan yang sebelumnya sulit
dibayangkan bisa dikeluarkan oleh Gus Dur yang sikapnya sangat inklusif.
Tetapi itu tetaplah dapat dipahami sebagai manuver untuk menaikkan daya
tawar yang ternyata cukup efektif karena sambutan umat atas pernyataan
itu begitu hangat. Pada detik-detik terakhir pengesahan calon presiden
sikap eksklusif untuk
mencari dukungan juga tampak. Ketika itu secara berbisik Hartono
Marjdono dari FPBB menanyakan apakah Gus Dur akan mengundurkan diri dari
pencalonannya. Bagi FPBB kepastian itu penting sebab jika Gus Dur akan
mengundurkan diri maka Yusril Ihza Mahendra akan terus maju dalam
pemilihan, tetapi jika Gus Dur terus maju Yusril akan diterik dari
pencalonan agar Gus Dur bisa menang atas Megawati. Waktu itu Gus Dur
menjawab sambil bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan mengundurkan
diri, daripada negara ini dipimpin oleh orang abangan seperti dia (sambil
menuding Permadi yang pendukung berat Megawati), rusak negara ini, “
demikian Hartono mengutip Gus Dur.
Pahami
Agar Tak Bingung dan Frustasi
Berusaha
memahami bahwa Gus Dur adalah politikus, minimal predikat politikusnya
jauh lebih kuat dari sifat kenegarawanannya, akan menolong kita untuk
tidak bingung atau frustasi. Perlu dipahami bahwa tindakan-tindakan Gus
Dur pada umumnya adalah tindakan politikus yang ingin mendapat dukungan
dalam kekuasaan untuk kemudian mempertahankannya. Kalau kita terlalu
percaya bahwa Gus Dur ini negarawan atau wali maka kita akan bingung dan
mungkinfrustasi. Sulit membayangkan bahwa seorang negarawan atau wali
mengibaratkan perbandingan antara PKB dan PPP seperti perbedaan antara
telur dan tahi ayam. Sebenarnya Gus Dur hanya melakukan pekerjaannya
dengan benar dan jujur sebagai politikus yang berintikan pada soal
kekuasaan dan dukungan. Dan itu dadalah hak politik Gus Dur yang dijamin
oleh konstitusi dan diperjuangkannya sejak bertahun-tahun.
Manuver-manuver Gus Dur itu selain dibenarkan oleh konstitusi sebagai
penggunaan hak politik seorang politikus juga telah menimbulkan hikmah
terselubung (blessing in disguised)
yakni munculnya kekuatan-kekuatan masyarakat
untuk bereaksi dan melakukan protes atau perlawanan terhadap Gus
Dur tanpa dihadapkan pada tindakan represif. Memang dalam melakukan
manuver-manuvernya Gus Dur itu bersikap berani dan fair serta tidak
menggunakan kekuasaannya untuk melakukan penindasan atai represi. Ini
sangat sehat bagi perkembangan demokrasi.
Memang
Gus Dur adalah poltikus ulung yang manuver-manuvernya sangat canggih.
Itu didukung oleh pengetahuannya yang luas dalam berbagai bidang,
pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan, serta pembawaannya yang
tenang dan terkesan selalu enteng dan penuh humor. Terhadap semua
manuver dan kebijakan yang dikeluarkannya biasanya, dengan kecerdasannya
yang luar biasa, Gus Dur mempunyai jawaban retoris yang mampu membuat
pihak lain menerima meskipun sambil nggrundel,
seperti kasus pembubaran Deppen dan Depsos yang sebenarnya tidak terlalu
masuk akal. Namun wacana yang dibuka Gus Dur tentang pencabutan Tap MPRS
No XXV/MPR/1966 yang disertai sikap ngotot untuk mengusulkannya kepada
MPR tampaknya menjadi maslaha yang tidak mudah untuk ditangkis dengan
retorika seperti biasanya. Isu pencabutan Tap yang kemudian ditimpali
sengan kasus pencopotan Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla dari jabatan
menteri tealah memancing timbulnya perlawanan politik yang mengarah pada
pendongkelan Gus Dur secara konstitusional melalui MPR.
Kasus
ini memang telah menimbulkan situasi baru yang mungkin merupakan hikmah
terselubung bagi rakyat Indonesia, meskipun tidak bagi Gus Dur, yakni
mendekatnya berbagai kekuatan politik yang tadinya dapat dikatakan
bermusuhan. Untuk menyikapi Gus Dur dan menyongsong kemungkinan Sidang
Istimewa pihak PPP yang tadinya menolak mati-matian Megawati menjadi
presiden sekarang sudah menyatakan tidak keberatan jika Ketua PDI-P
menjadi presiden. Seperti dikatakan Faisal Baasir, PPP sekarang dapat
menerima presiden perempuan. Golkar yang menjelang pemilu 1999 menjadi
musuh besar PDI-P sekarang sduah mulai lebih akrab. Bagi banyak orang
ini bisa disebut sebagai hikmah terselubung, tapi bagi Gus Dur sendiri
bisa menjadi ancaman atas kelangsungan kekuasaannya.
HTN
Darurat
Kita
masih menunggu dengan agak berdebar jurus-jurus apa lagi yang akan
dimainkan oleh Gus Dur untuk keluar dari kepungan ini. Berdasar prosedur
baku Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 memang tidak bisa dijadikan Sidang
Istimewa, sebab untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa yang akan minta
pertanggungjawaban presiden prosedurnya panjang dan perlu keputusan
politik dari DPR dengan waktu lama sesuai dengan Tap MPR No. III/MPR/1978.
Tetapi
dalam praktik tidak selamanya keputusan politik nasional itu harus
mengikuti urut-urutan yang baku. Hukum Tata Negara (HTN) Darurat sering
dipakai untuk melakukan perubahan besar. Bung Karno dulu mengeluarkan
Dekrit Presiden melalui HTN Darurat, yakni membubarkan Konstituante dan
memberlakukan UUD 1945 padahal itu bukan merupakan wewenang
konstitusionalnya. Tetapi Bung Karno menyebut itu seagai tindakan
darurat dan rakyat menerimanya. Peraliahan jabatan presiden dari
Soeharto ke Habibie juga melalui HTN Darurat. Oleh sebab itu Gus Dur tak
dapat menggantungkan diri pada prosedur HTN yang normal, sebab bisa saja
tindakan darurat dilakukan oleh MPR. Jika sebagian besar parpol di MPR
sudah menghendaki bisa saja MPR membuat ketetapan yang mencabut
ketetapan-ketetapan yang mempersulit diselenggarakannya Sidang Istimewa
danatas nama kedaulatan rakyat, MPR membuat ketetapan baru tentang
Sidang Istimewa. Landasan bagi HTN Darurat ini jelas yakni adanya dalil
bahwa “salus populi supreme lex”, keselamatan rakyat adalah hukum
yang tertinggi. Jika MPR menganggap bahwa sebuah tindakan darurat harus
dilakukan untuk
menyelamatkan rakyat dan negara maka tindakan itu harus dilakukan
meskipun harus melanggar prosedur baku, bahkan meskipun harus melanggar
konstitusi. Ada adagium yang sangat digemari oleh Gus Dur tentang ini
yakni “vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Di
Indonesia suara rakyat itu adalah suara MPR, sehingga apapun keputusan
MPR harus dianggap suara rakyat, termasuk akalau MPR tiba-tiba
mengagendakan Sidang Istimewa tanpa menunggu usul DPR sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Jadi untuk Indonesia adagium itu bisa berbunyi
“vox MPR, vox Dei”, suara MPR adalah suara rakyat, suara rakyat
adalah suara Tuhan. Dan Indonesia sudah beberapa kali mewujudkan makna
adagium ini dalam melakukan perubahan-perubahan politik yang besar.
Moh
Mahfud, Guru Besar Fakultas Hukum/Pembantu rektor I Universitas Islam
Yogyakarta.
(Sumber:
Makalah
disampaikan pada Diskusi Memahami Gus Dur yang dielenggarakan oleh The
Jakrta Post Perwakilan Yogyakarta, Senin 1 Mei 2000)
|