Oleh Dana Iswara
Pesimistis. Mungkin itu perasaan banyak orang setelah melihat wajah pers kita. Pesimistis
bahwa pers bisa berperan sebagai pilar keempat demokrasi muncul bukan karena pers kita tak
bisa menjalankan fungsinya lewat pelaporan yang bertanggung jawab, berimbang, dan jujur,
tapi karena pers sering dianggap sebagai alat untuk memfitnah pihak tertentu.
Tuduhan Fraksi Kebangkitan Bangsa bahwa isi rapat konsultasi
presiden dengan DPR bocor memang dianggap sudah selesai setelah Gus Dur meralat ucapannya:
ia memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi bukan lantaran keduanya dianggap tak bisa
bekerja sama dengan menteri lain. Banser NU juga sudah menyatakan permohonan maaf atas
pendudukan kantor Jawa Pos di Surabaya. Tapi, tak ayal, pesimistis sudah mencuat
karena tiap kali pers mengangkat sesuatu yang tak sehat di pemerintahan dan
kelompok-kelompok kepentingan, ia bisa dituduh sebagai alat dari suatu kelompok lain untuk
menjatuhkan musuhnya.
Di kalangan media dikenal istilah public right's to know
atau hak publik untuk mengetahui segala sesuatu. Adalah John Milton, yang membawa istilah self-righting
process. Ia beranggapan, setiap individu berhak mengemukakan pendapat dan publik harus
bisa mencerna seluruh ide dan opini setiap orang di media tanpa perlu ditutup-tutupi,
karena kebenaran dengan sendirinya akan muncul dari pertemuan ide di pasar bebas. Ini
kemudian dijadikan dasar teori pers liberal yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi
pers untuk menjadi alat kontrol pemerintah. Dalam praktiknya, teori ini membuat seorang
pejabat negara yang dilindungi hak-hak privatnya sebagai warga negara menjadi merasa
kehilangan privacy karena selalu diawasi pers.
Terlepas dari baik-buruknya teori pers liberal, pers Indonesia
kini dalam keadaan memerlukan jaminan dari pemerintah dan semua pihak bagi terwujudnya
pers bebas. Ini penting bagi pengembalian kepercayaan publik terhadap pemerintahan Gus Dur
yang terasa semakin merosot akhir-akhir ini. Meski harus diakui bahwa terpuruknya rupiah
bukan disebabkan reaksi pasar atas pernyataan Gus Dur soal alasan pemecatan Laksamana dan
Kalla, namun karena pelbagai reaksi Gus Dur yang membuka ruang keraguan bagi publik.
Sikap Gus Dur terhadap artikel di Jawa Pos tentang bisnis
keluarganya, komentarnya tentang pendudukan kantor Jawa Pos oleh Banser NU, dan
sikap diamnya atas kritik yang semakin menggunung akibat penempatan Gus Im di BPPN,
seperti memperkuat keraguan itu. Tentu kita berharap Gus Dur tetap pada komitmennya untuk
menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya pilar keempat demokrasi - seperti yang
dijanjikannya. Namun, komitmen yang tak diikuti dengan tindakan konkret akan memberi
sinyal yang tak jelas bagi publik. Bagi insan media -walau tak lagi diancam dengan pasal
subversif- kekhawatiran itu tetap ada. Pers tampaknya akan hidup dalam iklim ketakutan
karena adanya kemungkinan tindakan main hakim sendiri oleh "para pengawal"
penguasa.
Kita mencatat bagaimana kasus penganiayaan wartawan Menara
di Samarinda dan kasus pemukulan wartawan di Bandung lantaran liputan mereka memerahkan
telinga penguasa. Kita juga mencatat bagaimana kasus pendudukan kantor Jawa Pos.
Ini semua bukan tidak mungkin akan menjadi alasan yang bisa memberi angka merah pada Gus
Dur.
Ada baiknya kita melihat Amerika Serikat sebagai pembanding.
Sejumlah catatan dari media membuktikan bahwa hubungan pers dengan presiden di Amerika
Serikat kerap diwarnai saling curiga. Puncaknya adalah kasus Watergate yang
kemudian dicatat sebagai kemenangan insan media dalam menghadapi upaya-upaya pengebirian
pers terselubung oleh pemerintah yang selalu menganggap pers sebagai "musuh".
Dekade 1970-1980-an tercatat sebagai era ketika para presiden
menganut teori yang menganggap bahwa ekspose dari pers yang terbatas terhadap presiden
akan mengurangi risiko liputan yang negatif (Joseph C.Spear, 1984). Nixon, Carter, Ford,
dan Reagan tentu punya alasan mempraktikkan teori ini: pers Gedung Putih dikenal tidak
mengenal ampun dalam mencari titik lemah presiden. Skandal Billgate yang melibatkan
Billy Carter, adik kandung presiden Jimmy Carter, mengingatkan saya pada laporan KKN yang
ditulis sejumlah media kepada kerabat dekat Gus Dur.
Di tahun 1980, isu bahwa Billy Carter pada 1978 menerima
"pinjaman" dari pemerintah Libia sebesar US$ 220.000 dan menjadi agen Libia
merebak. Presiden Jimmy Carter yang sedang berjuang keras agar bisa dinominasikan kembali
sebagai calon presiden untuk periode berikutnya memilih tak berkomentar. Tapi, ia segera
memerintahkan Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional, untuk mencari kebenaran.
Kepada subkomite di Senat yang menangani kasus ini, Carter juga bersikap kooperatif. Di
sidang itu, ia mengakui telah meminta jasa sang adik untuk menjadi mediator antara
pemerintah AS dan Libia dalam kasus penyanderaan di Kedubes AS di Teheran. Namun, ia
menyangkal mengetahui adanya suap US$ 220.000. Subkomite Senat akhirnya menyatakan Jimmy
Carter tak tahu-menahu pinjaman dari Libia kepada Billy, dan ia dinyatakan tidak terlibat Billygate.
Jika kasus ini dianggap mirip KKN keluarga Presiden Gus Dur,
mengapa kita tak mau belajar? Orang bijak seperti Gus Dur sebenarnya bisa menahan diri
seperti Carter untuk tidak mengatakan bahwa pers telah melanggar kode etik. Kedua, Gus Dur
tak akan membungkam pers dari penulisan-penulisan berita seputar bisnis keluarganya dan
dugaan KKN yang dilakukan adiknya, Gus Hasyim Wahid. Dan ketiga, mengapa Gus Dur tidak
memerintahkan Kejaksaan Agung memeriksa dugaan KKN itu? Toh, pengadilan yang akan
membuktikan benar tidaknya laporan media.
Saya pun teringat kata-kata bijak Jeremy Bentham, "Tanpa
publisitas atas proses pemerintahan yang menyeluruh, tak ada kebaikan selamanya. Adalah
karena publisitas juga kejahatan tak akan terus berlanjut. Publisitas, karenanya, adalah
cara terbaik untuk menjaga kepercayaan publik". Saya yakin Gus Dur tahu bahwa
masyarakat berharap kasus KKN bisa terungkap bila pers dibiarkan membantu membongkarnya.