Oleh Hamid Awaludin
Ketika Nelson Mandela melangkah ke luar dari penjara, setelah mendekam dan dibungkam
selama 28 tahun, ia langsung menyeru, "Kita secara bersama harus hidup berdampingan
secara damai, demi masa depan Afrika Selatan." Lalu, Mandela pun menyerukan
dilakukannya rekonsiliasi nasional. Ia sukses mengantar kedamaian tersebut, sebab Mandela
sendiri tidak pernah menunjukkan keperkasaannya sebagai tokoh karismatis kulit hitam, yang
mengungguli kulit putih yang minoritas -yang pernah membungkamnya itu. Mandela juga sukses
melakukan gerakan rekonsiliasi tersebut, sebab ia selalu konsisten dengan ucapan dan
perbuatannya: menciptakan kedamaian di bumi Afrika Selatan, dengan cara, tidak membuat
hiruk pikuk nasional.
Bagaimana kemungkinan rekonsiliasi itu di Tanah Air? Rasanya,
tidak pernah tercatat dalam sejarah kontemporer bahwa republik kita ini mengalami
multikrisis yang demikian parah, seperti sekarang. Krisis yang menghimpit kita begitu
dalam dan meluas, sehingga terapi pemecahannya pun seolah tak ada yang mujarab. Krisis
yang bermultidimensi ini kian parah lantaran antara krisis yang satu dan lainnya saling
mengait. Krisis politik memicu krisis ekonomi, dan selanjutnya mengilhami terjadinya
krisis sosial. Begitu juga sebaliknya. Krisis tersebut semuanya bermuara pada hilangnya
kepercayaan (losing trust) semua komponen bangsa. Krisis yang kita alami kini bukan
sekadar krisis politik yang menggerogoti legitimasi pemerintah, melainkan sudah membuka
peluang pada goyangnya fondasi persatuan bangsa secara keseluruhan.
Karena itu, wacana rekonsiliasi nasional yang kian mengemuka
belakangan ini harus mulai berangkat dari agenda bringing back the trust
(kembalikan kepercayaan) antara semua segmen sosial yang terlibat, atau memiliki kaitan
dengan krisis yang ada. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara suku yang saling
berseberangan paham. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara orang Islam dan non-Islam
yang ikut bertikai. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara orang-orang Orde Baru dan
kaum yang mengklaim diri sebagai kaum reformis. Kita harus mengembalikan kepercayaan
antara warga negara dengan aparat negara. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara
warga negara dengan pihak swasta, dan antara warga negara satu dengan warga negara
lainnya.
Untuk memulai langkah-langkah besar itu, ada sejumlah syarat yang
harus dipenuhi. Pertama, semua pihak harus berdiri sejajar, tidak boleh ada yang merasa
lebih dominan dari yang lain. Tidak boleh ada yang merasa lebih memiliki kekuatan daripada
yang lain, sehingga yang lemah itu dijadikan sebagai kaum taklukan.
Dalam perspektif ini, posisi Gus Dur membiarkan pasukan Bansernya
keasyikan memamerkan kekuatan fisik mereka, patut menjadi pertanyaan. Dengan pasukan
Banser yang diasosiasikan sebagai pelindung fisik Gus Dur, pihak lain bisa secara
psikologis merasa sangat lemah berhadapan dengan Gus Dur. Karena perasaan lemah tersebut,
pihak yang berseberangan dengan Gus Dur, pada gilirannya merasa tidak seimbang. Dengan
demikian, apa pun hasil rekonsiliasi nasional, pihak yang lemah selalu merasa sebagai
pihak yang kalah. Selain itu, pameran kekuatan fisik dari semua organisasi kemasyarakatan
justru pada gilirannya bisa menarik pelatuk konflik fisik, karena masing-masing kekuatan,
secara langsung atau tidak, berlomba memperbesar otot. Lebih jauh lagi, membiarkan
kekuatan fisik merajalela sama artinya dengan tidak lagi mempercayai negara untuk memberi
jaminan keamanan.
Kedua, rekonsiliasi nasional hanya bisa sukses sekiranya Gus Dur
sebagai pencetus bisa lebih arif menjadikan diri sebagai pribadi yang patut diteladani.
Dalam hal ini, Gus Dur harus berlaku bijak dan menjadi pengayom semua orang. Dan yang
penting, di atas segalanya, Gus Dur harus menjaga konsistensi ucapan dan perbuatan.
Rekonsiliasi membutuhkan keteladanan. Sebab, rekonsiliasi adalah upaya yang lebih banyak
bergerak dalam wilayah pencarian solusi secara damai. Untuk ini, suasana yang sejuk harus
menjadi prasyarat utama. Suasana sejuk hanya bisa lahir sekiranya Gus Dur bisa menahan
diri untuk tidak membuat kejutan kontroversial, yang mengundang hiruk pikuk seantero
negeri.
Konsistensi ucapan dan tindakan itu juga penting untuk membangun
saling mempercayai (trusting each other). Sayangnya, di sini Gus Dur sendiri
menjadi soal. Gus Dur adalah pemimpin yang sulit ditebak, tak mudah diterka, dan tak
gampang memahaminya. Yang putih boleh jadi hitam dan yang biru bisa jadi merah. Semuanya
tergantung dari situasi yang menguntungkan dirinya. Dengan lancar seorang kawan
mengatakan, Gus Dur memang berhak menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang
hukum dari Thailand, sebab ia lebih hebat dari pengacara yang senang membalikkan fakta,
dan mahir memutar realitas. Karena wataknya yang demikian, Gus Dur rasanya sulit tampil
sebagai a reliable man (orang yang bisa dipercaya). Rekonsiliasi nasional hanya
bisa terwujud jika para pencetusnya adalah orang yang bisa menjadi tempat bersandar, serta
konsisten ucapan dan perbuatannya. Gus Dur perlu menjadikan Nelson Mandela sebagai guru.