Oleh Salahuddin Wahid
Majalah TEMPO edisi 7 Mei 2000 menulis ucapan Jusuf Kalla yang berjudul Gus Dur
Tukang Fitnah. Ini reaksi Jusuf Kalla terhadap penjelasan Presiden mengenai alasan
penggantian Jusuf sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan oleh Luhut Panjaitan.
Laksamana Sukardi juga merasa menjadi korban fitnah yang sama. Di pihak lain, Media
Indonesia 30 April 2000 menulis ucapan Rozy Munir, "Itu fitnah", yang juga
merasa menjadi korban fitnah dengan adanya isu bahwa ia telah menerima upeti. Ada
perbedaan mendasar antara "fitnah" terhadap Jusuf Kalla dan Laksamana dan
"fitnah" terhadap Rozy Munir. Yang pertama diucapkan oleh Presiden, yang kedua
tidak jelas siapa yang mengucapkan. Saya tergelitik untuk mempertanyakan apakah memang
benar Gus Dur itu tukang fitnah?
Kita harus mempertanyakan hal itu karena kalau rakyat percaya
bahwa presidennya tukang fitnah, sebenarnya presiden itu sudah kehilangan sebagian besar
kredibilitasnya. Ingat peristiwa selingkuhnya Bill Clinton dengan Monica Lewinsky? Saat
itu, Bill Clinton bersaksi bahwa dirinya tidak selingkuh. Ketika ternyata Clinton
berbohong, sebagian besar wakil rakyat menginginkan impeachment terhadapnya. Bagi rakyat
Amerika, berbohong secara terbuka dan di bawah sumpah membuat Clinton kehilangan
kredibilitasnya. Bagi rakyat Amerika, masalah selingkuh adalah masalah pribadi, sedangkan
masalah berbohong (ketidakjujuran) adalah masalah yang menyangkut persyaratan dasar bagi
seorang presiden.
Fitnah adalah tindakan menyebarkan berita bohong atau tidak benar
untuk merugikan atau menjelekkan orang atau pihak lain. Biasanya ia dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, seperti terhadap Rozy Munir. Penyebaran berita bohong itu sering
dilakukan oleh berbagai pihak untuk tujuan tertentu seperti politik dan bisnis. Kita masih
ingat adanya dokumen Gilchrist yang menguraikan tentang " our local army friends
", yang belakangan diakui oleh yang bersangkutan sebagai langkah spionase Inggris
dalam upaya menjatuhkan Bung Karno.
Dalam rapat konsultasi dengan DPR, Presiden secara off the record
menyatakan alasan sebenarnya penggantian Menperindag dan Menteri Negara Pembinaan BUMN.
Menurut media cetak, Jusuf Kalla dianggap telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme
dalam tender pengadaan beras, dalam tender proyek jaringan transmisi Klaten-Tasikmalaya,
dan mengutip dana untuk impor kendaraan built-up, yang telah dibantah oleh yang
bersangkutan. Sedangkan Laksamana Sukardi dianggap telah menipu Gus Dur dan memasukkan
jajaran direksi dan komisaris Indosat yang oleh Gus Dur dikatakan sebagai maling. Hal ini
pun telah dibantah oleh yang bersangkutan.
Gus Dur menyatakan bahwa penjelasannya bersifat off the record ,
berarti Gus Dur mengetahui bahwa apa yang disampaikan bersifat sensitif atau peka dan akan
berdampak negatif bagi kedua menteri dan keluarganya. Bagi saya, sulit untuk dimengerti
bahwa Gus Dur bermaksud melakukan fitnah terhadap kedua mantan menteri itu. Rasanya, Gus
Dur telah cukup lama dan cukup sering menjadi korban fitnah yang tidak jelas sumbernya.
Gus Dur menganggap hal itu risiko dari suatu sikap dan tidak menganggapnya serius. Tetapi
apakah kalau Gus Dur sudah sering difitnah kemudian ia bisa seenaknya melakukan fitnah
terhadap orang lain?
Kalau Presiden tidak memfitnah kedua menteri itu, apakah berarti
yang disampaikan dalam rapat konsultasi itu benar? Saya juga tidak yakin bahwa Jusuf Kalla
dan Laksamana Sukardi telah melakukan apa yang disampaikan Presiden. Lalu, mana yang
benar?
Seseorang (siapa pun dia) dapat dianggap telah melakukan fitnah
kalau menyebarkan berita bohong, terbuka ataupun tertutup, di muka umum atau di ruangan
tersembunyi. Kalau orang itu yakin apa yang dikemukakannya benar (walaupun sebenarnya
tidak benar), belum dapat dikatakan bahwa ia telah melakukan fitnah. Dalam kasus di atas,
Gus Dur yakin apa yang dikatakannya benar adanya, walaupun ternyata kemudian ada bantahan
dari yang bersangkutan. Tentunya perlu dilakukan klarifikasi. Siapa yang mengklarifikasi?
Karena kedua tokoh itu telah menyatakan tidak akan melakukan tuntutan hukum terhadap Gus
Dur, mungkin Pansus merupakan pilihan untuk melakukan tabayun atau klarifikasi.
Kalau tuduhan KKN itu ternyata benar, konsekuensi logisnya adalah
diajukannya tuntutan hukum terhadap tindakan itu. Perlu dipertimbangkan bahwa tidak mudah
untuk membuktikan seseorang secara hukum telah melakukan tindakan KKN. Kalaupun hanya ada
indikasi yang kuat bahwa telah terjadi KKN, maka sinyalemen Gus Dur mempunyai keabsahan
yang kuat. Kalau ternyata tuduhan KKN itu tidak benar dan tidak ada indikasi yang kuat,
apa yang akan terjadi? Sebaiknya Gus Dur meminta maaf kepada kedua mantan menteri itu.
Masyarakat akan tahu bahwa Gus Dur terlalu mudah mempercayai informasi yang belum jelas
kebenarannya. Sebetulnya masyarakat pernah mempunyai kasus yang mirip, ketika Gus Dur
mengungkapkan nama Mayjen K, yang kemudian dikonfrontasi oleh Mayjen Kivlan Zein.
Lepas dari siapa yang benar, perlu diberikan perhatian terhadap
proses penyaringan informasi di lingkaran dalam Gus Dur untuk bisa menyaring secara akurat
kebenaran dari informasi yang masuk. Tidak perlu dijelaskan betapa pentingnya ketepatan
informasi--baik dari segi substansi maupun waktu--bagi proses pengambilan keputusan.
Ungkapan garbage in, garbage out dapat menjelaskan lebih jauh arti penting penyaringan
informasi.
Ke depan, kita masih akan menghadapi segudang masalah berat yang
memerlukan ketepatan dalam pengambilan keputusan, secara substansi ataupun waktu. Kita
telah melihat beberapa contoh pengambilan keputusan yang kurang tepat, baik dalam
pemerintahan Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, maupun Gus Dur, yang disebabkan oleh
kurang tepatnya informasi. Pak Harto menyetujui untuk dicalonkan kembali pada Sidang Umum
MPR 1998 karena mempercayai informasi dari Harmoko selaku Ketua Umum DPP Golkar. Kita
wajib menyampaikan usul kepada Gus Dur untuk lebih berhati-hati dalam menyaring informasi,
melalui proses check and recheck berulang-ulang dari berbagai sumber yang berbeda. Nasib
lebih dari 210 juta warga negara RI terlalu berharga dan terlalu penting untuk dapat
diputuskan dengan dasar informasi yang belum jelas.